Ronan mengamati bayangan dirinya di depan cermin berbingkai kayu coklat keemasan. Ia memiringkan kepalanya melihat bekas luka cukur yang ada di lehernya dan menempelkan plester transparan untuk menutupi lukanya. Senang rasanya wajahnya bisa kembali merasakan hembusan angin setelah lama tidak bercukur. Kalau Karen tidak melihatnya begitu ngeri, sebenarnya ia juga tidak akan terlalu pusing untuk membersihkan diri karena selama di Afrika pun ia terlalu sibuk untuk berkelana dan menikmati alam.
“Wow, ternyata wajahmu sekarang sangat tampan!” suara itu membuatnya menoleh ke belakang dan mendapati Athena, wanita yang sejak lahir dijodohkan dengannya sedang bersandar pada bingkai pintu sambil melipat tangannya di depan dada.
Ronan mengamati penampilan gadis itu. Rambutnya hitam panjang lurus sepunggung dengan poni tipis rata. Wajahnya cantik indonesia bercampur belanda masih sama seperti terakhir kali diingatnya. Tangan dan kakinya termasuk panjang, dan itu yang berhasil menjadikannya model berkelas. Athena tidak banyak berubah, dan itu membuatnya merasa nyaman mengingat masih ada sedikit dari yang ditinggalkannya terasa sama.
“Aku merindukanmu.” Ucap Ronan segera menghampiri gadis itu dan memeluknya erat.
Athena membalas pelukannya erat. “Sialan kau! Benar – benar tidak mengabari sama sekali!” gerutu Athena terharu.
Ronan terkekeh. “Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kau membatalkan perjodohan kita waktu itu, aku akan pergi dan mungkin tidak muncul kembali,”
Athena melonggarkan pelukannya dan menatap mata coklat Ronan. “Lalu kenapa sekarang kau ada di sini?”
“Papa menyeretku pulang. Kau tidak tahu kabarnya?” tanya Ronan dengan sebelah alis terangkat. Melihat Athena menggeleng, ia menghembuskan nafasnya berat. “Kemarin begitu papa tahu aku kembali ke Indonesia, paginya dua orang bodyguard sudah datang ke rumah Dave. Aku tidak mau ribut, jadi aku langsung ikut saja,” jelasnya tak acuh sambil berjalan melewati Athena bergerak ke arah lemari pakaian mewah bertema klasik yang seirama dengan seisi rumahnya.
“Dan sekarang kau mau kemana?” tanya Athena dengan nada menuduh sambil melipat tangannya di depan dada.
Senyum Ronan melebar. “Aku sedang berusaha untuk mendapatkan sesuatu,” jelasnya sambil melihat – lihat pakaian – pakaian yang ada di dalam lemarinya. Entah kapan baju – baju itu dimasukkan ke dalam sana, namun semuanya bermerk dan sesuai dengan ukuran tubuhnya. Tidak sesuai style – nya, namun lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Sekarang Ronan sedikit menyesal karena sudah memberikan semua pakaian yang dimilikinya selama berkelana pada orang – orang Afrika yang secara acak ditemuinya.
“Kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau,” ucap Athena sambil memutar tubuhnya menghadap tembok tak acuh saat melihat Ronan melepaskan kaos rumahnya hendak berganti pakaian.
“Tidak yang ini.” Gumam Ronan sambil mengenakan kaos putih V-neck, blazer casual berwarna biru gelap, dan celana panjang dengan warna seirama dengan blazernya.
“Tidak? Bahkan wanita manapun akan menyerah saat kau menunjukkan isi buku rekeningmu.”
Ronan tertawa hambar. “Kau akan menyerah kalau aku menunjukkan buku rekeningku padamu?” ia sudah selesai berpakaian, dan berkata pada Athena, “Aku sudah selesai.”
Athena kembali berbalik menatap Ronan jahil. “Memangnya aku boleh melihatnya?”
Ronan menggerak – gerakkan jari telunjuknya di depan wajah. “Aku tidak ingin kau tergelepar di depanku karena terkejut melihat berapa banyak angka nol yang ada di sana.”
Athena tertawa dan mendudukkan diri di kasur Ronan. Raut wajahnya mendadak berubah lembut. “Kenapa kau tiba – tiba memutuskan untuk pulang?”
Alis Ronan terangkat terkejut dengan perubahan arah pembicaraan yang tiba – tiba. Ia melipat tangannya di depan dada dan membuang wajah ke arah lain. “Aku hanya bosan dengan Afrika.”
“Dan memilih untuk pulang ke rumah yang terlalu besar dan hanya berisi beberapa gelintir manusia ini? Aku bukan orang bodoh, Ronan..”
Mata Ronan melirik Athena yang kini bersedekap kesal karena jawabannya yang tidak jujur. Ia tersenyum simpul, lalu mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja rias yang lebih berfungsi sebagai meja untuk meletakkan berbagai barang kebutuhan Ronan. “Aku tahu kau tidak bodoh, Athena. Aku juga baru ingat kalau berbicara denganmu membutuhkan tingkat kejujuran 100%,” sahut Ronan setengah bergurau. “Randy sudah menghilang selama satu tahun, dan sebagai kakak dan anak sulung yang baik, rasanya tidak benar kalau aku membiarkannya yang seorang ahli waris berkelana keluar dari rumah seenaknya tanpa ijin dan meninggalkan orang tuaku sendiri.”
Athena terdiam selama beberapa saat, lalu memiringkan kepalanya menatap Ronan ragu. “Kau berniat mencarinya?”
Ronan mengangguk mantap. “Tentu saja.”
“Dan membawanya kembali ke rumah?”
Ronan menatap mata Athena yang penuh sorot harap. Ia mendekatinya, lalu memegang kedua pundaknya, dan berkata tegas, “Aku akan membawanya pulang kembali padamu. Aku akan membetulkan semua kesalahan ini sebelum semuanya jadi semakin berantakan.”
Suasana serius itu bertahan selama beberapa detik, lalu tiba – tiba Athena menyipitkan matanya. “Kau ingin membawanya kembali padaku, atau ingin membuatnya kembali menggenggam tanggung jawabnya sebagai ahli waris?”
Ronan terdiam sesaat, lalu melepaskan tangannya dari kedua bahu Athena. “Mungkin itu juga salah satu alasannya.” Katanya dengan nada dan pose berpikir serius.
Athena menendang tulang kering Ronan hingga laki – laki itu mengaduh keras. “Pengecut!”
“Kenapa kau selalu pakai kekerasan, sih?!” protes Ronan keras sambil memegangi tulang keringnya yang terasa berdenyut. “Kau lupa kalau kau bagian dari warisan?!”
“Dan sekarang kau bilang tidak ingin menikah denganku?”
“Memangnya kau mau menikah denganku?!”
Suasana hening sejenak, lalu mereka saling berpandangan sesaat. Athena mengalihkan pandangannya dan bergumam pelan. “Aku tidak ingin menikah denganmu.”
“Benar, aku juga tidak ingin menikah denganmu.” Balas Ronan pelan. “Jadi bersikaplah baik, dan tunjukkan dukunganmu padaku untuk lepas dari ini semua,”
Athena terdiam dengan kening berkerut, seolah mengetahui ada yang salah dengan kata – kata Ronan barusan. Ia berdiri menjajarkan diri dengan Ronan, lalu memegang kedua bahu Ronan, memaksanya untuk menatap matanya. “Kau pulang ke sini karena terpaksa, kan?”
Ronan hanya membalas tatapan mata Athena tanpa ekspresi.