Kean Mahardika POV
"Dia begitu indah diantara wanita lainnya bahkan dibandingkan calon istri ku."
Aku mencari perempuan bernama Gheana Danishwara. Menurut penuturan orang yang baru saja aku tanya, perempuan yang aku cari mengenakan kaos putih dengan celana jeans biru tua. Aku menyapukan mataku ke kekiri dan kekanan mencoba mencari perempuan dengan ciri-ciri yang disebutkan orang yang baru aku tanya.
Aku menemukannya, perempuan dengan kaos putih pas di badan dan skinny jeans biru tua yang begitu pas di gunakannya. Rambutnya yang tak terlalu panjang ia ikat seadanya, aku bahkan masih bisa melihat beberapa rambutnya yang mencuat sembarangan namun menambah kesan lucu yang kian melekat pada dirinya. Tangan kanannya sibuk dengan handy talkie dan tangan kirinya sibuk dengan beberapa kertas yang aku sendiri tak tau isinya apa. Ia kini sibuk menatap kertas di tangannya kemudian sesekali menyelipkan rambut yang jatuh menghalangi pandangan matanya kebelakang telinganya.
Ia begitu menawan meski dengan make up sederhana. Aku berani bersumpah bahwa ia satu-satunya perempuan di ruangan ini yang hanya mengoleskan lipstick saja. Meski begitu tak mengurangi kecantikannya. Sungguh ia benar-benar mempesona meski tak melakukan hal yang spesial.
"Maaf Pak Kean anda jadi harus datang kemari. Perkenalkan nama saya Gheana Danishwara" tutur perempuan bernama Gheana itu yang membuat ku terbangun dari lamunan. Aku menjabat tangannya ketika ia mengulurkan tangannya kehadapanku kemudian menyebutkan nama lengkapku.
"Gak apa-apa saya tadi kebetulan dekat daerah sini" ucapku sambil mengembangkan senyum.
"Mari kita bicara disana saja" ia menunjuk sebuah meja bulat yang dekat dengan jendela.
Ia bicara pada rekan kerjanya melalui handy talkie yang ada ditangannya. Aku bisa mendengar bahwa ia meminta rekan kerjanya untuk membawakan segelas teh hangat untukku. Aku kembali tersenyum terkesan dengan seluruh apa yang ia lakukan.
"Sekali lagi maafkan saya karena anda harus datang kemari" ia tersenyum kemudian mengucapkan kembali kata maaf. Ah, ia begitu manis karena terus menerus meminta maaf dan tersenyum.
"Bukan masalah" tutur ku membalas senyum manis yang menempel di wajahnya.
"Ini beberapa berkas yang kemarin saya terima dari Bu Diana, coba bapak periksa dulu apakah benar?" ia memberikan ku beberapa kertas. Aku membacanya sekilas karena aku tak terlalu antusias dengan berkas-berkas ditangan ku, aku lebih tertarik pada perempuan di hadapan ku yang diam-diam tengah mengamati ku yang membaca berkas yang baru saja diberikannya pada ku.
"Kalo bapak mau menambahkan sesuatu bapak bisa bilang ke saya dan akan saya siapkan" ucapnya ketika aku membaca berkas ditangan ku. Aku meletakan berkas di meja dan menatapnya. Ia nampak menunggu ku bicara.
"Saya serahkan semuanya sama kamu dan Diana" tutur ku yang sebenarnya tak mau ambil pusing soal pernikahan yang sebenarnya masih ragu-ragu untuk di laksanakan.
"Kalo begitu mulai minggu depan saya akan siapkan apa yang bapak dan Ibu Diana minta" tuturnya masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sungguh, ia perempuan termanis yang pernah kulihat bahkan Diana tak pernah semanis dirinya ketika tersenyum.