Jika ada kemauan terbesar, Eka ingin bersama seseorang yang dia taksir saat ini.
Bukan Danu yang ditawarkan Prayitno. Bukan pula yang lain.
Sandy adalah nama pemuda yang sukses menawan hati Eka. Di malam tertentu saat Eka menyendiri, Sandy selalu hadir begitu saja tanpa diminta. Seakan dia hadir setiap Eka mengingatnya. Eka senang sekali menerima telepon Sandy dan bertukar kabar. Suara Sandy yang ceria selalu membuat jantung Eka berdebar-debar.
Sayangnya cowok itu sibuk dengan pekerjaannya di Surabaya. Hampir setahun Sandy menghilang. Karena itulah Eka menanti kabar Sandy tanpa mengeluh.
Dia tidak mengharapkan Danu semata menunggu Sandy. Padahal ayahnya memberi lampu hijau untuk hubungan Eka dan Danu.
Padahal Eka sudah memikirkan hal yang lebih jauh soal konsep pernikahan. Dia ingin hidup bersama Sandy sebagai pasangan suami istri yang bahagia dan punya anak lucu-lucu. Lalu mereka menua, terpisah maut.
Idih, Eka bergidik membayangkan. Dia tersipu-sipu sendiri dengan halusinasinya sendiri.
Setelah seharian penuh mengurung diri di kamar akibat ngambek kena ledek Prayitno, Eka keluar kamar. Eka tentu saja butuh minum atau ke kamar mandi.
Matanya menemukan ayahnya sedang makan malam sendirian. Istrinya sedang berkunjung di rumah tetangga untuk arisan mingguan.
Nafsu makan Eka lenyap melihat wajah Prayitno. Perutnya berhenti bergejolak perih minta isi. Kesunyian itu melekat di antara bapak dan anak selagi Eka dengan sengaja tidak menyapa Prayitno. Eka mengambil segelas air untuk menangkal dahaga.
"Piye, masih nggak mau sama Danu?" tanya Prayitno memulai pembicaraan.
"Ayah, memangnya Danu mau sama Eka?" tanya Eka masih kepo, siapa tahu Prayitno tidak serius dengan ucapannya.
"Yo embuh. Nanti ayah tanyain ke anaknya." Prayitno dengan enteng menjawil kerupuk ikan di toples.
"Hahahaha..." Suara tawa penuh paksa Eka terdengar mencemooh. "Gitu maksa ngejodohin Eka sama dia. Kalau dia setuju, harusnya berani telepon ke Eka. Kalau nggak, ya sudah. Nggak jodoh."
"Ayah pastikan dia setuju. Dia tipikal menantu idaman," balas Prayitno.
"Ayah pasti bahagia kalau dapat Danu karena dia mau bergabung dengan organisasi yang ayah ikutin," sindir Eka dengan suara sehalus mungkin.
"Tentu saja. Kalau kamu menikah sama Danu, otomatis kamu hidup lebih islami." Prayitno menganggukkan kepala.
"Apa kata Ayah, deh. Jangan ngomongin Danu kenapa. Eka sudah pusing sama skripsi, jangan ditambahin yang aneh-aneh." Eka meletakkan gelasnya. Emosi kembali menguasai hati dan pikirannya.
"Lantas kapan kamu bawa calon ke rumah?"
"ARGHHHHH!!!!" Eka frustrasi minta ampun. Dia berbalik masuk ke kamar, tak sanggup harus bertengkar dengan ayahnya. Lagi dan lagi.