Roda pesawat mulai terangkat. Aku menarik napas dalam. Sedikit sesak ketika harus meninggalkan negeri yang indah ini. Negeri dengan dataran paling indah di dunia. Namun, setiap yang datang harus pergi dan kepergian adalah kedatangan. Itulah hukum alam yang tak bisa dielakkan. Aku memejam mata. Kemudian mencoba merasakan udara dan aroma daratan yang masih tersisa di dalam pesawat. Seketika wajah Bapak melintas. Dadaku tiba-tiba sesak.
Suasana di dalam pesawat yang tenang bertolak belakang dengan isi hati dan pikiran yang sedang kurasakan. Berang. Seperti gejolak api yang membakar sepadang ilalang. Resah. Gemuruh di dada tak kunjung reda. Sejujurnya, aku enggan pulang. Apalagi bertemu dengan sosok lelaki yang enggan kusebut namanya. Sosok lelaki yang mengaku bertitel “Bapak”, tapi lupa dengan tanggung jawabnya.
Kekecewaanku padanya begitu memuncak. Mengingatnya hanya membuat amarahku bergejolak. Sulit sekali bagiku melupakan segala yang telah dia lakukan. Terlebih jika harus memaafkan. Namun, ah .... Aku kembali menarik napas dalam. Mencoba menjauhkan segala kisah laluku yang begitu kelam.
Sudah sekitar satu jam kami berada di udara. Perjalanan yang begitu panjang dan cukup melelahkan. Pesawat baru akan tiba di Singapura sekitar pukul delapan malam waktu setempat untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Beruntung, kursi pesawat cukup lebar dan nyaman, bahkan untuk kelas ekonomi. Kami menaiki Boeing 777-200 dengan formasi kursi tiga di kanan, tiga di tengah, dan tiga di kiri. Kami duduk di sisi kiri pesawat: Raya di kursi tengah, Rona di dekat jendela, sementara aku duduk di pinggir dekat deretan kursi tengah.
Aku membuka mata. Kulihat Rona tertidur sambil meletakkan kepalanya di pundak Raya. Sementara, aku melihat Raya sedang membaca tulisan pada sebuah buku catatan harian bersampul putih yang warnanya mulai kusam termakan usia. Kata Raya, membaca diary itu mampu mengobati rindunya yang tak kunjung reda.
Melihat Raya membaca diary lama itu selalu membuatku tertegun. Katanya, tulisan sang Ayah adalah caranya bertemu dengan rindu yang tak pernah sampai. Meski hanya dalam bentuk kata, ia merasakan cinta yang begitu nyata, seolah suara ayahnya hidup di antara lembaran usang itu.
“Ini adalah obat termahal yang tidak dijual di apotek manapun di dunia,” ucapnya tempo hari sambil menunjukkan diarynya itu padaku, “demamku bisa lebih cepat reda saat membacanya.”
“Ahh ... Bisa saja kau, Raya.”
“Serius,” ucapnya sungguh-sungguh.
Aku mengerutkan dahi tanda tak percaya. Diary tua itu bukan sekadar buku bagi Raya. Di setiap kata yang memudar, ia menemukan jejak cinta ayahnya—cinta yang melintasi jarak, waktu, dan batas keabadian.
“Kau pernah tahu ada penyakit yang disebabkan rindu?” tanya Raya sambil memasang senyumnya padaku.
Lagi-lagi aku mengerutkan dahi tanda tak percaya.