Perjalanan dari Christchurch menuju Singapura kami tempuh sekitar sepuluh jam. Transit sebentar, lalu melanjutkan kembali perjalanan pulang ke Indonesia. Terdengar suara pilot memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat kami akan mendarat.
Aku berusaha melihat keluar jendela. Dari kejauhan Changi Airport Singapore mulai nampak.
“Rona, tukeran tempat duduk dong sebentar. Aku ingin lihat awan sebelum benar-benar pesawat ini mendarat,” kataku pada Rona.
Tanpa banyak kata, Rona segera berdiri pertanda dia setuju dengan permintaanku. Kami pun bertukar tempat duduk.
Aku duduk. Memandangi gumpalan awan putih bersih. Ada perasaan senang. Akhirnya, selangkah lagi bisa segera kambali ke Indonesia. Namun, aku juga bingung harus pulang ke mana. Ada dua tiket di tangan, ke Bandung dan Makassar. Jika aku balik ke Bandung, pasti Raya akan sangat kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku yang masih sangat marah jika harus memilih tiket pulang ke Makassar.
Hatiku masih penuh luka. Bertahun-tahun berdarah tanpa ada yang bisa menyembuhkannya. Aku termenung sambil melihat rumah dan gedung yang terlihat kecil dari atas awan. Lalu, aku teringat ucapan Raya beberapa waktu lalu.
“Maafkan bapakmu, Wellang. Coba pikir! Akan adakah kau di dunia ini jika tidak ada jasa bapakmu? Jangan pernah sekali-kali kau merasa lebih baik dari bapakmu.”
Raya seolah menyalahkan sikapku. Padahal, aku hanya ingin dia mendengarkan keluh kesahku saja. Bukan menyalahkan sikapku. Apalagi, sampai menyebutku anak durhaka. Dan gara-gara itu, kami sering bertengkar. Aku paling tidak suka mendengar siapa pun menyebut-nyebut nama bapak di hadapanku. Aku paling tidak suka mendengar sedikit pun orang menanyakan hal apa pun tentang bapakku. Aku benci apapun tentangnya.