Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Ada sesuatu yang harus aku tahan. Sebuah emosi yang mampu meledak kapan saja saat siapa pun membahas tentang sosok itu. Dia ibarat luka dan aku sedang berusaha bersusah payah untuk menyembuhkan dengan tidak lagi mengingatnya. Aku mati-matian berjuang dengan perasaanku agar kisah suram di masa lalu itu tak pernah terlintas kembali di benakku. Aku lelah. Aku trauma dengan itu semua. Hampir sembuh luka itu, lalu Raya mengungkit-ungkitnya, hingga kembali mengalir darah.
Aku membuka mata lalu menoleh sedikit ke arah Raya. Aku melihat ada raut wajah tulus seorang sahabat terpancar dari matanya. Namun, aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Hatiku masih belum siap untuk kembali pulang ke tanah kelahiranku sendiri.
Perjalanan kali ini memang sebagian besar dibiayai oleh Raya, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya mengatur hidupku. Diam-diam, tanpa memberitahuku, dia telah mengganti tiket pulangku. Seharusnya aku terbang kembali ke Bandung, tapi sekarang—berkat keputusannya yang sepihak—tujuanku berubah menjadi Makassar.
Aku mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak membentaknya di depan banyak orang. Namun, tetap saja, rasa jengkel itu tidak bisa kutelan begitu saja.
"Jangan mentang-mentang kau orang kaya, jadi bisa seenaknya padaku!" ucapku ketus, menatapnya tajam.
Raya terdiam, matanya seketika meredup. "Astagfirullah, Wellang…," ucapnya pelan. Ada luka yang terpancar di wajahnya, seperti seseorang yang baru saja dituduh sesuatu yang tidak pernah terpikir olehnya.
Aku menoleh ke arah lain, enggan membalas tatapannya.
Untuk apa dia melakukan ini? Apa haknya memutuskan ke mana aku harus pergi?
Aku menghela napas dalam-dalam. Jangankan membeli tiket baru untuk kembali ke Bandung, sisa uang di sakuku hanya cukup untuk sepotong roti dan sebotol air mineral. Aku benar-benar tidak punya pilihan.
Raya masih diam. Sesuatu dalam ekspresinya membuat dadaku mendadak terasa sesak, seolah aku baru saja melukai seseorang yang sebenarnya hanya ingin melakukan sesuatu untukku. Namun, aku belum bisa menghilangkan amarahku. Tidak sekarang. Matanya berkaca-kaca. Aku yang tengah marah mendadak tak tega. Hatiku luluh seketika saat melihat sahabat terbaikku harus menitikkan air mata.
Rona terbangun dari tidurnya. Raya segera menghapus air mata yang hampir jatuh di pipinya. Sepertinya tadi Rona memang sedang tertidur pulas. Kupikir dia terbangun lantaran mendengar obrolan kami sebelumnya. Ternyata dia hanya menanyakan berapa lama lagi pesawat akan mendarat di Singapura.
"Kita sudah di mana, Honey?" tanya Rona dengan mata yang setengah terbuka.
"Masih di atas lautan," jawab Raya.
Seketika, Rona melihat keluar jendela. Sesaat kemudian dia menatap Raya.
"Masih lama?" ucap Rona dengan suara manja.