“Kenapa Bapak tak bertanya terlebih dulu padaku?”
Plak!! Aku terhuyung. Hampir saja jatuh. Mataku berkunang-kunang. Tamparan bapak yang tiba-tiba membuat tubuhku kaget. Pipiku terasa panas.
“Diam! Dasar anak sialan! Ngapaian kau coret-coret kalender!” Bapak membentakku.
Aku menunduk. Tak mau menatap wajahnya yang seperti raksasa kalau sedang marah.
“Aku hanya ingin mengenang hari-hari bersejarah dalam hidupku,” ucapku sambil menahan tangis.
“Bersejarah? Jika tiap hari bersejarah tak perlu kau tandai di sini,” ucap bapak sambil menunjuk ke kalender di atas meja, “cukup kau tandai di pikiranmu saja.”
“Aku sudah mengingatnya juga bahkan sampai meresap ke hati.”
“Eeee ... kurang ajar, malah menjawab ... dasar anak durhaka ....”
“Pak ...” ucapku memberanikan diri sambil menatap mata bapak, meski sesungguhnya aku ketakutan. Jantungku mau copot sebab berdetak tak keruan, “Sebelum menyebut aku anak durhaka, apa bapak sadar kalau sebenarnya bapak telah menjadi bapak durhaka untukku?”
Sudah sering kali aku mendapat julukan anak durhaka dari bapak. Entah, karena hal apa sehingga dia dengan begitu tega menyematkanku dengan julukan itu. Padahal, aku tak pernah membantahnya. Aku selalu mendatangi setiap panggilannya. Aku berkata sopan dan tak berani melawan. Namun, kerap kali perlakuan bapak kepadaku malah sebaliknya.
Aku bingung. Perlakuan atau kata-kata yang sudah kuucapkan kepada bapak sehingga dia mengatakan aku sebagai anak durhaka? Jujur aku penasaran, apakah hanya ada istilah anak durhaka saja di dunia? Apakah tidak ada bapak yang durhaka kepada anaknya?
“Aga muaseng? Anana' sojoo![1]”