Aku melihat jam tangan. Waktu menunjukkan tiga puluh menit berlalu dari pukul enam. Masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum pesawat lepas landas. Aku masih dengan setia menunggu. Duduk sendiri di terminal keberangkatan dengan perasaan yang tak keruan. Sementara, aku melihat orang-orang hilir mudik dengan wajah-wajah ceria. Mungkin hanya aku saja yang berwajaha muram bimbang. Ah, aku menarik napas dalam. Lalu, mencoba memejamkan mata.
Jika boleh aku memilih, lebih baik aku menetap saja di sana. Tempat di mana senja selalu paham bagaimana cara berpamitan dengan indah. Angin mengalir tenang mengembus awan ke arah kiblat mengantar matahari pulang. Biru turquoise Lake Tekapo membuat suasana begitu syahdu. Hamparan liar bunga Russell Lupines bergoyang diembus angin. Bergoyang laksana penari yang begitu eksotis. Perpaduan warna ungu dan merah jambu membuatnya semakin romantis.
The Church of the Good Shepherd pun tak mau kalah, ia berdiri anggun di tepinya. Sungguh, maha karya yang memesona. Bangunan gereja kecil yang berdiri sejak 1935 itu menjadi tempat paling populer bagi pengunjung di sana. Bukan hanya karena bangunannya yang begitu fotogenik, tapi juga pemandangan indah Mount Cook dari jendela altarnya yang menambah bangunan itu nampak begitu istimewa.
Tak jauh dari sana terdapat sebuah monumen “Anjing Gembala” yang terbuat dari perunggu. Monumen itu berdiri gagah sejak tahun 1968 di depan pegunungan South Alpen yang tertutup salju. Monumen tersebut dibuat sebagai bentuk penghargaan kepada anjing jenis collie karena telah membantu para penggembala di wilayah Mackenzie Basin dalam mengawasi hewan ternaknya. Sementara itu Mount John yang berselimut salju tak mau kalah memamerkan kegagahannya sehingga menjadikan tempat ini sebagai salah satu ciptaan-Nya yang begitu sempurna.
Senja dan tepi Lake Tekapo seolah kolaborasi suasana yang membuatku begitu dramatis. Menatapnya membuat hatiku tenang. Aku merasa memiliki dada lapang. Segala keperihan di masa lalu, mendadak hilang. Aku bisa tersenyum bahagia bahkan hingga tertawa lepas. Apalagi ketika kupejamkan mata, serasa tumbuh sayap-sayap dari tulang belakang yang hendak kukepakkan dan terbang tinggi. Membawa tubuh ini menjauh dari tanah semakin tinggi meninggalkan bumi yang sudah begitu pekat dengan dosa-dosa penghuninya.
Tak salah memang jika Lake Tekapo yang terletak di sebuah kota kecil antara Christchurch dan Queenstown ini, menjadi persinggahan utama para traveler. Salah satu danau terbesar di Pulau Selatan, New Zealand ini menawarkan keindahan alam yang memanjakan mata. Seperti khayalan negeri dongeng di buku-buku cerita. Wajar saja jika orang-orang Maori menyebutnya dengan Te Wai Pounamu yang berarti Perairan Batu Hijau. Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa indah ciptaan-Nya.
Jujur aku sampai terperangah melihat secara langsung keindahanya. Perjalanan panjang melelahkan selama empat jam menggunakan campervan[1] dari Milford Sound menuju Lake Tekapo pun menjadi tak ada artinya ketika kami tiba.