Ponselku bergetar. Ada chat masuk. Aku segera membukanya. Ternyata dari Berlian Marauleng, adik semata wayang yang kutinggalkan jauh di Sengkang. Seperti biasa, aku sudah bisa menebak apa isi pesannya. Karena sejak kami berpisah tujuh tahun lalu hanya satu permintaannya yang sampai saat ini belum juga bisa kupenuhi : “Lesuni, Daeng, moddanika sibawa indo.”[1]
Aku menarik napas dalam. Tidak ada maksud sedikit pun dalam hatiku untuk tidak ingin bertemu adik dan ibu. Jangan ditanya apakah aku tidak rindu? Namun ah, wajah bapak selalu terbayang. Bentakannya, pukulannya selalu menghalangi keinginan untuk pulang.
“Lesuni Daeng, meloka idi dampingika ri esso abottingekku. Mellau tulungka kesi daeng.”[2]
chat berikutnya masuk. Aku kembali menarik napas dalam.
Rasanya baru kemarin kami bercanda tawa dan bulan depan Uleng akan menikah. Adik kecilku yang dulu manja, kini sudah menjadi seorang gadis jelita. Sebentar lagi, dia akan menempuh kehidupan baru dalam rumah tangga. Aku bangga memiliki adik sepertinya. Dia sosok perempuan gigih dan memiliki komitmen yang kuat. Salah satu yang membuatku bangga karena dia masih mempertahankan hijab yang sudah dikenakannya sejak masih duduk di bangku sekolah. Meski banyak teman sebayanya yang memilih melepas hijab mereka.
Uleng cerita, mereka melepas hijabnya karena pergaulan yang melawati batas sewajarnya. Penampilan yang sudah baik menjadi erotik, sebab berteman dengan lingkungan toxic hanya demi terlihat asik. Namun, ada juga aturan berseragam di tempat bekerja. Uleng pun sempat tergoda untuk menanggalkan pakaian muslimahnya demi mengejar dunia. Alhamdulillah, Allah masih sayang dan menjaganya.
Aku pun bangga saat tahu kalau sekarang dia sudah bekerja. Dia sekarang sudah menjadi seorang perawat di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah Lamadukelleng yang jaraknya sekitar 15-20 menit berkendara dari rumah. Sebuah profesi yang memang sudah menjadi cita-citanya sejak lama.
***