Siang itu kami baru saja selesai memenuhi logistik untuk persiapan beberapa hari ke depan. Kami mampir ke sebuah toko kue sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Aku membeli hokey pokey, es krim vanili lezat dicampur sarang madu. Sementara Raya dan Rona membeli pavlova, sejenis meringue[1] dengan taburan krim dan buah-buahan segar, yang biasanya dijadikan sebagai makanan pencuci mulut. Aku duduk sambil menikmati es krim yang menjadi favorit di negeri ini di salah satu bangku yang berada tak jauh di depan toko kue. Sementara Raya dan Rona menikmatinya di dalam campervan.
Tak berapa lama kulihat seorang bocah lelaki melintas di depanku. Pakaian kumal dan lusuh. Aku perkirakan usianya sekitar tujuh tahun. Wajahnya yang lucu dan menggemaskan membuat mataku membuntuti langkah kecilnya. Dia berjalan dengan begitu riang. Aku bisa melihat dari pancaran raut wajahnya.
Bocah lelaki itu berhenti tepat di salah satu toko kue tempatku tadi membeli hokey pokey. Kuperhatikan tingkah bocah lelaki itu. Kulihat dia menempelkan mukanya ke jendela kaca. Entah apa yang sedang dilakukannya. Bocah lelaki itu melihat keadaan di dalam toko kue. Kulihat sepertinya dia memperhatikan dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala setiap orang yang baru saja keluar dari toko kue itu. Matanya tak lepas dari kantong belanja yang terdapat kue di dalamnya. Setelah mereka berlalu kembali dia menempelkan wajahnya ke kaca.
Kulihat ekspresi wajah sang bocah yang seolah sedang menikmati kue-kue lezat yang dilihatnya dari balik kaca. Aku melangkah mendekati sang bocah. Aku berencana ingin memberinya hadiah. Membelikan sebuah kue dari toko itu yang mungkin sudah lama dia idam-idamkan. Namun, baru saja beberapa Langkah, tiba-tiba salah seorang penjaga toko kue keluar dan mendekatinya. Lelaki yang kuperkirakan berusia sekitar tiga puluhan tahun itu langsung berjongkok di hadapan sang bocah. Lalu, spontan sang bocah pun memeluknya.
“Daddyyy ...,” teriak si bocah kegirangan.
Ternyata pegawai toko itu ayahnya. Sang bocah memeluk dengan erat sambil menempelkan pipinya ke pipi ayahnya. Tak berapa lama kulihat ia mendaratkan ciuman di kening sang ayah. Aku hanya bisa diam mematung melihat pemandangan yang sedang terjadi di depan mata. Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tak berapa lama, meluncur air bening dari ujung mata. Segera kuhapus air mata bahagia.
Bibirku tetap tersenyum melihat keakraban keduanya. Aku Kembali ke tempat dudukku semula. Dari tempatku, sekilas aku masih bisa mendengar perbincangan keduanya.
“Daddy, why are you out now?[2]” tanya sang bocah sambil melepaskan pelukannya lalu menatap mata ayahnya dalam-dalam.
“Because I saw you standing just outside the store,[3]” jawab sang ayah sambil tersenyum.
“But this is still your working hours right? You’re not supposed to leave the store now or else you will get scolded.[4]”