Alarmku berbunyi. Aku cepat membangunkan Raya dan Rona yang masih terlelap.
“Kita harus segera pergi dari sini sebelum ada petugas yang memergoki kita, “ ucapku pada Raya dan Rona.
Raya mengusap-usap wajahnya. Lalu dia membangunkan Rona. Setelah itu raya membersihkan wajahnya dengan tisu basah. Dia meneguk segelas air mineral sebelum akhirnya bersiap di belakang kemudi untuk menuju perjalananan berikutnya. Setelah memastikan kondisi aman kami meninggalkan tempat persembunyian itu untuk menuju holiday park terdekat.
Sekitar jam enam pagi kami sudah berada di holiday park. Matahari pagi sudah mulai terbit. Satu jam yang lalu kami sudah beranjak dari tempat persembunyian di bawah jembatan dekat bantaran sungai yang tertutup semak-semak. Kami khawatir jika menunggu sampai terang akan ada petugas yang melihat dan tentu bisa menjadi masalah besar buat kami.
Setibanya di holiday park Rona langsung menyiapkan sarapan, Roti dengan olesan madu Manuka yang merupakan madu khas yang diambil dari pohon Manuka yang banyak tumbuh di seantero New Zealand. Sengaja Rona memilih menu sarapan yang mudah dibuat. Kami tak bisa berlama-lama karena kami akan melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya.
Sarapan sudah tersaji. Sambil menikmati sarapan, iseng aku buka Instagram. Ada satu komentar yang menarik hati sekaligus membuatku tersenyum dingin. Komentar dari seorang yang paling merindukanku selama ini dan selalu meintaku untuk pulang. Siapa lagi kalau bukan Uleng. Seperti biasa, tiap kali aku mengunggah foto-foto perjalanan dia selalu menyindirnya.
“Negeri yang jauh didatangi, rumah sendiri tak disinggahi,” begitu komentar Uleng ditambahi dengan icon tertawa miris. Aku hanya membalasnya dengan icon senyum dan tertawa lebar. Kututup Instagram-ku. Raya memintaku segera menghabiskan sarapan. Lalu, berkemas untuk menuju tujuan berikutnya bertemu Runi di Canterbury Museum.
“Bulan depan kau jadi pulang ke Sengkang kan?” tanya Raya tiba-tiba.
Aku menjeda gigitan rotiku lalu melihat ke arahnya dengan wajah bingung.
“Jadikan?” Raya mengulangi pertanyaannya.
Aku makin bingung. Seingatku, aku belum pernah bicara apa-apa pada Raya atau Rona tentang rencana kepulanganku. Aku juga belum pernah menyindir hal-hal terkait kampung halamanku akhir-akhir ini, tapi kenapa tiba-tiba Raya menanyakan hal itu?
“Aku baca komentar Uleng diunggahanmu beberapa waktu lalu.”
“O ... i ... i ... itu ...,” jawabku gugup.
“Pulanglah,” ucap Raya bijak.
Aku bergeming sambil menundukkan kepala. Perutku mendadak kenyang. Sisa roti kuletakkan kembali ke piring di atas meja. Ucapan Raya membuat mood-ku menjadi buruk pagi ini. Jawaban yang hampir sama terulang selama tujuh tahun saat Raya mengajukan pertanyaan yang sama: “nanti saja”.