Wellang

Hadis Mevlana
Chapter #41

Demi Cinta

Aku melihat keluar melalui kaca jendela. Terlihat Rona dan Runi berbincang akrab saling melepas rindu. Sesekali kulihat Om Bira menimpali Rona. Beberapa kali kuperhatikan dia mengarahkan pandangannya ke campervan kami. Tiba-tiba denyut jantungku berdegup tak keruan saat matanya menangkap mataku yang sedang melihatnya dari balik jendela.

Aku segera bersembunyi di balik kaca. Aku menenangkan diri dengan mengatur napasku sedemikian rupa agar Raya tak curiga. Namun, gerak-gerikku yang tampak tak natural membuat Raya sekali lagi menanyakan apakah aku baik-baik saja.

Aku bingung apakah kali ini harus jujur pada Raya. Aku tak tahu apakah ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semua kejadian masa lalu kelamku kepadanya. Namun, aku ragu. Apakah harus menceritakan kejadian itu dengan sebenar-benarnya? Bukankah itu berarti aku harus membuka semua aib yang selama ini sudah kututup rapat-rapat? Ataukah aku tetap menutupinya hingga akhir hayat? Sementara ,perasaan di hatiku yang paling dalam begitu resah. Ingin rasanya kuungkapkan semua gundah agar hati ini menjadi lega.

“Kau baik-baik saja kan, Lang?”

Aku mengangguk pelan. Raya tak percaya begitu saja.

“Cerita saja kalau ada yang mengganjal di hatimu.”

Raya menatapku. Dari matanya kudapati ketulusan seolah ingin menjadi pemberi solusi atas masalah yang sedang kuhadapi. Raut wajah Raya pun mendadak berubah serius. Tambah lagi ia meyakinkanku agar aku bisa terbuka padanya dengan mengutip kata-kata bijak seorang pujangga.

“Keindahan persahabatan adalah bahwa kamu tahu kepada siapa kamu dapat mempercayakan rahasia,” ucap Raya mengutip perkataan Alessandro Manzoni seorang penyair dan novelis Italia yang terkenal dengan novel The Betrothed-nya.

Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang pertemuanku dengan Om Bira beberapa waktu lalu di Queenstown Mall, sebelum melanjutkan perjalanan ke Danau Wakatipu. Namun, bukannya aku makin yakin, malah sebaliknya. Aku makin ragu untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Masalahnya ini bukan semata kisah di masa lalu. Ini tentang maksiat yang pernah kubuat. Aku tak mungkin membongkat aib-aibku sementara Allah sudah menutupinya rapat-rapat.

“Kau masih ingat, saat kita makan kebab di … ?”

Aku belum sempat menyudahi ucapanku. Rona memanggil kami untuk segera bergabung bersama mereka.

“Honey,” teriak Rona.

“Iya, sebentar Sayang,” jawab Raya,

Raya meminta waktu beberapa saat lagi karena menunggu ucapanku yang terputus. Raya penasaran mendengar ucapanku yang masih menggantung. Namun, Rona terus memanggil Raya. Kulihat wajah Rona berubah kesal saat Raya masih tetap belum beranjak dari dalam campervan.

“Iya kenapa, Lang?”

Lihat selengkapnya