Langit makin gelap. Lima belas menit berlalu dan matahari baru benar-benar terbenam sekitar pukul sembilan malam. Kami kembali ke campervan yang parkir beberapa meter tak jauh di depan The Church of the Good Shepherd untuk makan malam dan beristirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan berikutnya. Raya terlihat sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Rona pun sibuk menyiapkan peralatan masak yang akan digunakan.
Sesekali kulihat Raya menggoda Rona dengan mengoleskan bumbu masakan di pipinya. Rona membalasnya dan adegan-adegan romantis pun tak terlewatkan. Pasangan traveler ini memang selalu mengumbar kemesraan dan membuatku yang masih jomlo ini salah tingkah. Aku melipir dari mereka karena tak ingin larut dengan kemesraan dua insan yang sedang dilanda cinta.
Sambil menunggu masakan matang, aku menyiapkan meja piknik kecil untuk acara makan malam. Mejanya kuletakan sekitar satu meter dari campervan. Lalu, aku meletakkan tiga piring melamin warna putih di atasnya usai melapisi meja dengan kain linen bermotif bunga-bunga. Sendok dan garpu kuletakkan tepat di sebelah kiri kanannya. Kursi kususun sedemikian rupa agar kami bisa melihat pemandangan malam tanpa terhalang campervan.
Penasaran, kulihat lagi ke arah mereka. Ternyata semakin mesra.
“Aah … nasib-nasib, yaaa begini deh kalau traveling bareng pengantin baru,” ucapku agak keras.
“A-apa, Lang?” ucap Raya kurang jelas mendengar suaraku.
“Kau sudah lapar ya? Sebentar lagi matang kok.” Rona turut menimpali.
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban mereka. Segera aku palingkan wajah kembali mengarahkan perhatianku ke ponsel setelah terdengar beberapa kali notifikasi yang masuk. Aku berjalan ke meja piknik yang tadi sudah kususun, lalu duduk di bangkunya membelakangi campervan. Melihat bintang-bintang yang bertaburan rasanya lebih menyenangkan dibanding harus melihat Rona dan Raya.