Berkunjung ke Canterbury Museum merupakan pengalaman yang menyenangkan dan tak boleh dilewatkan ketika mengunjungi Christchurch. Bukan hanya karena isinya yang menarik, tapi tempatnya pun sangat bersih dan terawat ditambah lagi petugas-petugas yang ramah membuat pengunjung menjadi nyaman. Tempat yang paling menarik bagiku ada di lantai dua. Di tempat itu terdapat “Hearts for Christchurch”, tempat seniman memamerkan karyanya berupa sulaman warna-warni sebagai wujud simpati terhadap gempa Christchurch.
Dari jendela di lantai dua itu kami juga bisa melihat tanaman dan bunga-bunga yang ditanam dengan formasi tertentu di Botanical Garden. Tidak hanya bunga berbagai warna, di kebun raya seluas 21 hektar yang menjadi paru-paru kota ini pun terdapat banyak pohon-pohon tua yang rindang, membuat suasana menjadi nyaman dan sejuk untuk pengunjungnya.
Setelah sekitar empat puluh lima menit kami berkeliling melihat isi museum akhirnya kami melanjutkan ke tujuan berikutnya. Runi mengajak kami melakukan punting[1] di Sungai Avon. Kami memindahkan campervan yang sebelumnya diparkir di jalanan depan museum ke area parkir gratis di Armagh Street. Dari tempat parkir, kami menyeberang jembatan kecil melintasi Sungai Avon menuju stasiun utama punting yang terletak di Old Boat Shed.
Kami berjalan makin dekat ke stasiun utama yang berbentuk sebuah bangunan khas berwarna hijau yang letaknya tepat di seberang Botanic Garden. Setibanya di sana kami menyaksikan deretan perahu kecil yang tertambat di tepi sungai lengkap dengan petugas kemudinya yang menggunakan seragam berupa rompi dan topi bulat.
Melihat beberapa orang tampak senang melakukan punting membuat kami tertarik untuk mencobanya. Sayangnya, harga tiket yang terpampang lumayan merogoh kocek kami. Tiket seharga NZ$25 untuk dewasa dan NZ$12 untuk anak-anak membuat kami ragu untuk mencobanya. Maklum uang kami mulai menipis di hari-hari terakhir ini.
“Ternyata mahal yah, Honey,” ucap Rona kepada Raya.
“Nggak mahal kok, Sayang. Cuma, uang kita saja yang tidak cukup hehehe.”
“Tanggung loh sudah sampai sini, masa nggak nyobain?” bujuk Runi.
Aku hanya terdiam. Sementara, aku melihat ekspresi wajah Rona seolah anak kecil yang dituruti keingininannya. Raya, hanya bisa tersenyum kepada Rona. Senyum yang terlihat sangat dipaksa. Tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya.
“Mau sih, tapi mungkin waktunya kurang tepat,” jawab Raya, “kami mesti mengejar pesawat.”
“Yaah, sayang banget,” ucap Runi, “padahal ….”
Tiba-tiba Runi memberikan kejutan. Runi mengeluarkan empat tiket dari dalam dompetnya sambil tersenyum lebar. Kulihat raut wajah Rona sangat bahagia melihat tiket punting di tengan Runi karena pengalaman menjelajah Sungai Avon sudah di depan mata. Berbeda dengan Raya yang menunjukkan wajah tak bahagia.