“Ibuuu … Uleeeeng …,” teriaku melihat dua perempuan kesayanganku menjerit kesakitan
Ternyata ibu dan adikku berusaha melindungiku dengan badan mereka agar aku tak terkena tamparan bapak untuk yang ke sekian kalinya. Aku langsung panik dan memeluk mereka dengan erat.
“Kalian mau menjadi pahlawan untuknya?”
“Sudah, Pak! Pukul saja aku. Jangan sakiti adik dan ibuku. Ayo!” aku setengah menantang bapak.
Mata bapak makin merah. Tulang rahangnya menonjol memperlihatkan amarah. Namun, aku sudah terlanjur sakit. Aku balas menatapnya. “Jika aku harus mati di tangan bapak, maka matilah,” pikirku.
Akan tetapi, bapak akhirnya menghindar. Dia pergi keluar dengan membanting pintu keras-keras hingga kaca jendela pun bergetar. Sejenak kami aman dari amuknya. Kami saling menenangkan diri dari semua yang baru saja kami lewati.
Lagi, hari ini mesti kulingkari tanggal di kalender itu dengan spidol warna merah. Entah, kapan akan berakhirnya. Sepertinya, aku masih punya banyak kesempatan untuk melingkari kalender hingga seratus delapan puluh hari ke depan. Atau bahkan lebih hinga tahun berikutnya sampai bapak puas. Sampai aku mati.
***
Mengapa Tuhan memilihku untuk menjalani hidup seperih ini?
Mengapa Dia memilihkan langit gelap untuk memayungi hidupku tanpa henti.
Mendung dan hujan badai seperti tak berkesudahan.