Wellang

Hadis Mevlana
Chapter #7

Dilema

Usai salat shubuh kami segera bersiap menuju counter check in yang sudah dibuka tiga jam sebelum waktu keberangkatan. Aku dan Rona membuntuti Raya mencari counter check in SilkAir. Kali ini, kami menaiki pesawat type Airbus A320 dengan formasi empat kursi tengah dan masing dua kursi di sisi kanan dan kiri.

Ternyata, sudah banyak penumpang lain yang mengantri di sana. Segera, kami pun masuk dalam barisan antrian. Aku berdiri tepat di belakang Raya. Sementara Rona, tepat berdiri di depan Raya.

Sejak mendarat di Changi Airport Singapore, Raya bersikap dingin padaku. Bahkan, semalam pun kami hampir tak saling bicara. Hanya Rona yang sesekali menyapaku dan menanyakan hal basa-basi tentang liburan ke New Zealand yang baru saja kami jalani. Aku paham mengapa Raya bersikap dingin seperti itu padaku. Raya pasti sangat kecewa dengan sikapku. Dia sangat berharap aku untuk pulang ke kota yang mendapat julukan Kota Sutera: Sengkang. Sebab aku harus menjadi wali nikah adikku yang akan dilaksanakan minggu pertama bulan depan.

Satu orang penumpang di depan Rona sedang melakukan proses check in. Petugas meminta calon penumpang itu untuk menunjukkan e-Ticket dan bukti identitas diri. Raya berbicara dengan lembut kepada Rona untuk menyiapkan dokumen yang akan diminta petugas. Lalu, Raya melirik ke arahku dengan wajahnya yang datar dan masih dengan sikapnya yang dingin.

“Dokumen,” ucap raya singkat saat meminta aku menyiapkan paspor untuk proses check in.

Aku tak menjawabnya. Bahkan, mengangguk pun tidak. Aku segera mengeluarkan KTP dan e-Ticket dari dalam tas. Ada dua e-Ticket yang sudah di-print Raya di tanganku. Satu tiket pesawat dengan tujuan ke Bandung. Satu lagi ke Makassar. Entah, aku mesti memilih yang mana. Sebuah pilihan yang bagiku sangat tidak mudah.

Penumpang yang berdiri tepat di depan Rona hampir selesai melakukan proses check in-nya. Sebentar lagi giliran Rona. Dadaku pun makin bergemuruh saat melihat Rona melakukan check in. Aku belum menentukan pilihan. Aku masih bingung apa yang mesti aku lakukan. Tak berapa lama, giliran Raya pun tiba. Sementara, aku masih dilema hendak memutuskan mesti pulang ke mana.

Aku memperhatikan Raya dari belakang. Sosok berkacamata berwajah lembut itu begitu banyak berkorban dalam hidupku. Jasanya padaku tak bisa terhitung. Dia yang tidak pernah pamrih. Dia yang selalu ingin berbuat sesuatu agar siapa pun yang di sekitarnya menjadi bahagia. Betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat yang baik sepertinya.

Dia telah menganggapku sebagai saudaranya. Bahkan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Raya selalu melakukan segala sesuatu untukku dengan tulus. Sedikit pun tak pernah dia mengungkit atas segala kebaikan yang telah dia lakukan. Namun, entah sikapnya kali ini apakah termasuk pamrih? Dia memberikanku tambahan uang saku. Katanya, sebagai tambahan dana untuk acara resepsi adikku dan sekaligus tiket untukku pulang ke Makassar. Seolah dia memaksaku untuk menuruti kehendaknya.

Lihat selengkapnya