Aku sudah membaca pesan WhatsApp dari Enre, tapi belum sempat membalasnya. Raya sudah memanggilku untuk segera kembali ke campervan karena akan melanjutkan perjalanan berikutnya. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana. Sebelum beranjak, kurentangkan kedua tangan sambil menghirup segarnya udara.
Sejenak kunikmati pagelaran alam yang begitu indah sambil menghayati senja yang turun perlahan di tepi langit yang terlihat semakin cantik. Angin bertiup lembut membuat riak-riak gelombang berlarian di permukaan danau. Bunga-bunga Russell Lupines pun menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan seolah menghantarkan mentari yang sebentar lagi menutup matanya.
Kupejamkan mata. Kutarik napas panjang perlahan lalu kuembuskan. Kubayangkan segala permasalahan dan beban-beban batin ikut melayang terbang bersama angin yang berhembus jauh dan tak ingin lagi kuhirup deritanya. Lalu, kunikmati kembali wajah New Zealand, berharap wajah duka terhapus oleh keindahannya.
Tak jauh dari tempatku duduk, ada sebuah keluarga kecil yang baru saja turun dari kendaraannya. Mobil sedannya terparkir tak jauh dari campervan kami. Wajah mereka sepertinya tak asing lagi bagiku. Aku mencoba mengingatnya sambil terus memperhatikan dua gadis kecil itu.
Dua wajah kembar berwajah manis itu memakai baju yang sama. Rambut mereka pun sama-sama dikepang dua. Mereka berlari-lari dengan lincah bermain piring terbang di padang bunga Lupin yang tumbuh liar di tepi danau bersama sang ayah.
Sesekali ayah mereka berkelakar membuat kedua gadis kecil itu tertawa kegirangan. Sementara, sang ibu sedang asyik memotret pemandangan di sekitarnya. Tak lama kudengar salah seorang dari gadis kembar itu memanggil ibunya. Sang ibu yang tengah mengarahkan kameranya ke The Church of the Good Shepherd segera menoleh dan menghentikan buruan gambarnya.
Sang ibu segera menghampiri mereka yang sedang asyik bermain bersama sang ayah. Tak berapa lama sang ayah memasang sebuah tripod. Lalu, sang ibu menyetel kamera. Kedua gadis kecil itu langsung memamerkan senyumnya. Mereka sedang berfoto keluarga. Aku sangat iri melihat kehangatan mereka. Keceriaan mereka tak kalah indah dari bunga-bunga yang sedang mekar.
Aku tersenyum, tapi sebenarnya batinku menangis. Tersenyum ikut bahagia melihat kebahagiaan mereka, menangis karena aku tak pernah mengalami kebahagiaan seperti mereka.
Aahh … betapa sempurnanya hidup kalian adik kecil. Alangkah gembiranya kalian memiliki orang tua seperti mereka. Betapa bahagianya memiliki ayah yang bisa berbagi kebahagiaan.
“Uncle Prince …,” tiba-tiba dua gadis kembar itu sambil melambaikan tangannya ke arahku.