Untuk kali pertama, setelah sekian lama berpisah perasaan canggung pun melanda. Apalagi kami pernah mempunyai masa lalu yang buruk di masa lalu. Gadis yang berada di hadapanku itu nyatanya masih membuatku degup jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
Beberapa kali aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku dengan sikap salah tingkah. Bahkan lebih parah dibanding saat pertama kali dulu aku mengenalnya. Berbeda dengan Runi yang tampak lebih bisa mengontrol dirinya.
Apakah itu berarti dia sudah memaafkan kesalahanku di masa lalu? Buktinya dia masih mau menghampiriku. Ah, entahlah. Semoga saja dugaanku benar bahwa dia telah melapangkan hatinya dan bisa menerima maafku beberapa tahun lalu. Meski, dia tak mengucap satu kata pun waktu itu.
Bahkan hingga aku berlutut di hadapannya sebagai permohonan maaf sekaligus rasa penyesalanku yang paling dalam. Runi tetap diam. Dia hanya menahan isak tangisnya sambil menatap wajahku dengan penuh kekesalan lalu pergi meninggalkanku.
Aku terpaksa harus memutuskan hubungan dengannya dengan suatu sebab yang tak mungkin kuungkapkan padanya. Keputusan itu bukan karena ada pihak lain yang memaksa. Bukan pula karena ancaman-ancaman para lelaki yang juga menyukainya. Bahkan aku pun bingung mesti beralasan apa saat Runi menanyakan alasannya.
Aku hanya bisa beralasan atas dasar ketidakcocokan untuk sekadar menggugurkan kewajiban menjawab pertanyaannya. Tentu saja Runi pun tak terima alasanku begitu saja. Terlebih, aku telah merenggut kehormatannya. Dia berusaha mencari berbagai cara agar hubungan kami tetap berjalan seperti semula.
Bahkan dia berjanji tak akan mengungkit kemaksiatan yang dengan sengaja kami lakukan asal aku tetap bersamanya. Dia rela jika ternyata harus hamil di luar nikah atas perbuatan kami malam itu asal aku mau bertanggung jawab dan menikahinya.
Aku bisa saja jujur padanya tentang alasanku memutuskannya. Namun, aku tak bisa meneruskan lagi berhubungan dengannya karena mempertimbangkan banyak hal. Aku tak ingin sesuatu yang lebih buruk dan lebih menyakitkan terjadi ke depannya. Sebab ada hal yang tak sanggup kuceritakan padanya.
Aku tak bisa menceritakan alasan sebenarnya bahwa keputusanku berpisah darinya ada kaitan erat dengan sosok Om Bira, yang tidak lain adalah pamannya. Biarlah dia menyebutku sebagai seorang pengkhianat cinta dan perusak kehormatan wanita.
Sejak saat itu hubungan persahabatan kami pun mendadak hambar. Saat pertemuan di beberapa kesempatan pun aku merasa canggung dan rasanya tak sanggup lagi memandang wajahnya. Entahlah, apakah dia juga merasakan rasa yang sama. Aku tahu betapa begitu sakit hatinya. Aku sudah memohon maaf sedalam-dalamnya padanya. Namun, rasanya tak begitu mudah mengubah semua menjadi seperti persahabatan kami semula yang dekat dan hangat.
***