Perahu kecil dengan dasar datar serta busur persegi bergaya Edwardian berjalan perlahan. Ada petugas yang mengendalikannya dengan mendorong perahu melawan dasar sungai yang dangkal sekitar tiga hingga lima kaki dengan sebuah galah. Kami menikmati perjalanan santai menyusuri sungai dengan air sejernih kristal sambil melihat ikan trout yang begerombol di dekat jembatan.
Tak berapa jauh di depan, kami dapat menyaksikan bebek berkerumun berenang bebas di atas sungai. Tak ketinggalan burung-burung yang sedang mencari makan membuat perjalanan begitu menyenangkan. Di sepanjang sungai juga banyak area tempat duduk untuk menikmati taman-taman yang indah.
Rona dan Runi duduk berdampingan di kursi depan. Aku dapat mendengar dengan jelas perbincangan santai mereka mengulang-ulang cerita lucu masa lalu dengan sesekali diselingi tawa. Aku dapat merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka. Sementara, aku dan Raya duduk di belakang menyimak cerita mereka. Sesekali mereka meminta kami memotretnya ketika melintasi area-area yang menarik. Sambil menikmati perjalanan menyusuri sungai, tiba-tiba Raya berbisik padaku. Raya menanyakan lagi tentang kegelisahanku beberapa waktu lalu.
“Kau sengaja tak mau menemui pamannya Runi lantaran kau malu karena salah menuduhnya waktu itu?” tanya Raya pelan takut terdengar Runi dan Rona.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” jawabku sambil menengok ke arah Raya.
“Cuma menebak saja. Kan yang aku tahu kau putus dengan Runi gara-gara salah paham. Kau mengira Om Bira itu selingkuhan Runi.”
Aku menggeleng.