Tak pernah sekali pun terucap dari lisanku untuk kecelakaan dan kemalangannya. Bertahun-tahun aku berdoa meminta seorang bapak yang baik hatinya. Namun, Allah seperti tak mendengarnya. Allah seperti tak memperkenankan permintaanku yang menurutku begitu sederhana.
Hingga akhirnya aku lelah meminta. Aku marah dan mengubah permintaanku dan berharap agar Dia mengabulkannya. Aku meminta kepada Allah untuk mengganti bapakku dengan bapak lainnya.
“Ya Allah, wellau ri idi puang tapaselleingka ambokku pappadae ambona silaungku. Ambo makessinge ampe sibawa mappojie ri anakna.[1]”
Tentang permintaanku untuk mengganti bapak itu, aku jadi teringat dengan sosok Puang Kasii Palalo[2]. Beliau adalah tetanggaku di Sengkang. Masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Enre dari jalur ayahnya. Umurnya berbeda sekitar tujuh belas tahun dariku. Dia adalah sosok pecinta anak-anak. Selain menjadi pakkaja di Danau Tempe, hidupnya diabdikan untuk mengajarkan anak-anak mengaji selepas magrib di rumah panggung miliknya.
Puang Kasii seolah menjadi sosok yang selama ini kuharapkan. Sosok teladan yang tak pernah kudapatkan dari bapak. Dia selalu menghiburku dengan tingkah-tingkah lucunya. Puang Kasii paling jago membuat lelucon yang membuatku tertawa. Dia bisa membuatku tenang dan nyaman saat aku mendapat perlakuan buruk dari bapak. Bagiku Puang Kasii bukan hanya sekadar seorang guru ngaji dan sahabat tapi aku juga sudah menganggapnya selayaknya orang tua bagiku.
Ada sebuah peristiwa yang membuatku sangat berkesan bersama Puang Kasii. Usiaku saat itu delapan tahun. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga dan pagi itu aku bolos sekolah. Sesaat sebelum aku melangkah menuju sekolah, bapak memberikan bogem mentahnya. Seperti biasa, semua dia lakukan dengan alasan yang menurutku mengada-ada. Hanya karena aku tak segera datang saat dia memanggilnya.
Pagi itu, bapak berteriak memanggilku seperti biasanya. Dia memintaku untuk mengambilkan jala. Aku sudah membawakan jala itu untuknya. Hanya saja, aku baru membawakan jala itu pada teriakan bapak yang ketiga. Bukan tanpa sebab aku tak segera memenuhi panggilannya. Saat itu aku sedang membantu ibu mencuci piring di dapur. Bapak kesal dan memukulku habis-habisan dengan sebelumnya menghujaniku dengan sumpah serapah yang menyakitkan.
Aku lari ke rumah Puang Kasii sambil menangis menahan sakit. Puang Kasii langsung panik saat melihat wajahku lebam membiru dan langsung membawaku ke dalam rumahnya. Aku duduk di ruang tamunya yang sederhana. Rumah panggung dengan lantai yang terbuat dari kayu itu hanya beralaskan tikar lusuh. Tanpa kursi dan hanya ada meja tua yang biasa Puang Kasii pakai untuk menaruh makanan di atasnya.
Puang Kasii segera mengompres lebam di wajah serta di beberapa bagian tubuhku. Aku dibiarkannya beristirahat di ruang tamu ditemani dengan segelas air putih hangat. Aku meminumnya untuk menenangkan perasaanku. Tak berapa lama kulihat Puang Kasii menggelar sajadah biru tuanya di sebelahku. Puang Kasii mengajakku salat dhuha.
Sebelumnya sudah sering kali Puang Kasii mengajakku. Namun aku selalu menolaknya. Puang Kasii selalu mengingatkanku agar jangan pernah meninggalkan salat. Sebuah nasihat yang belum pernah kudengar sekali pun dari mulut bapak. Bahkan Puang Kasii yang mengajariku tentang bagaimana cara salat yang seharusnya itu sudah menjadi tugas seorang bapak kepada anaknya. Bapakku sibuk dengan bekerja dan uangnya habis untuk berfoya-foya.
Tepat pukul sembilan pagi, aku melaksanakan salat dhuha untuk kali pertama. Entah mengapa aku merasakan pagi itu terasa sangat berbeda. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuatku semangat untuk melaksanakanya. Salat dhuha yang begitu syahdu. Sejak takbir hingga salam kulakukan penuh khusyu. Isak dan linangan air mata banjir di pipiku.
Usai dua rakaat salat dhuha, aku bingung bagaimana caranya berdoa. Tak jauh di sebelahku kulihat Puang Kasii khusyu melirihkan doa sambil mengangkat kedua tangannya. Samar, kudengar Puang Kasii melafazkan doa-doa dalam bahasa Arab yang tak kupaham maksudnya. Tak berapa lama Puang Kasii pun menyudahi doanya. Dia heran melihatku yang hanya celingak-celinguk kebingungan. Aku bingung harus berdoa apa.
“Magai Wellang?[3]”
“Meloka mellau doang, tapi de'uwissengi parellau doang aga.[4]”
“Ellau doang bawanno nasibawai bahasamu, naissessa puang Allah Taala. Ellau bawanni aga rilalenna atimmu.[5]”