Wellang

Hadis Mevlana
Chapter #55

Mengingat Luka di Sengkang

Sudah satu jam aku berada di masjid bandara untuk beristirahat sebentar sambil menunaikan salat zuhur berjamaah. Aku sudah mengirimkan pesan pada Enre untuk menjemputku di bandara saat aku mendarat di Singapura. Aku mengabarkan pada Enre bahwa hari ini aku pulang ke Makassar.

Katanya dia siap menjemputku kapan saja seperti komentarnya di salah satu foto di Instagram yang kuunggah saat aku transit di Singapura. Katanya dia juga siap mentraktirku apang paragi, kue bakar tradisional khas Sengkang kesukaan kami. Dulu kami sering makan kue yang terbuat dari adonan yang dicampur dengan bumbu spekuk[1] itu tiap akhir pekan. Biasanya kami makan di warung langganan kami di Warkop Temangnge, warung legendaris yang sudah berdiri sejak tahun 1950-an di Sengkang.

Kulihat kembali pesan yang kukirim kepada Enre melalui WhatsApp sejak tadi aku turun pesawat. Namun, masih saja belum ada balasan darinya. Kulihat masih ceklis satu tanda pesan belum diterima. Mungkin jaringan sedang tidak bersahabat atau Enre sedang menonaktifkan ponselnya. Kulihat juga pesan yang kukirim melalui Facebook dan Instagram-nya tapi belum juga ada tanda-tanda pesanku dibaca.

Kuperhatikan sekelilingku, kuarahkan pandangan ke kanan dan kiri, satu persatu orang-orang mulai beranjak dari tempatnya. Masjid mulai sepi. Aku berdiri dengan sigap menuju pintu keluar. Sambil berjalan aku memikirkan dengan apa aku pulang menuju Sengkang. Perjalanan pulang kampung yang begitu berat. Bukan lantaran jauhnya jarak dan lamanya perjalanan yang memakan waktu panjang sekitar empat sampai lima jam. Namun, ternyata kisah-kisah kelam masa lalu masih terus terbayang meski telah sekian lama meninggalkan Sengkang.

Bekas tamparan bapak memang sudah tidak terasa lagi tapi lukanya masih membekas di hati hingga kini. Bahkan sering kali trauma-trauma itu hadir tanpa pernah kuminta. Ibarat sebuah bangunan, pondasiku masih kokoh tertanam, tapi tiang-tiangnya telah roboh berjatuhan perlahan satu demi satu. Entah apakah aku bisa mendirikannya dengan kekuatan yang kupunya. Banyak hal yang telah membuatnya berjatuhan, tapi hal paling besar adalah karena sikap bapak.

Dulu aku sering menangis karena pedihnya hidup yang kujalani. Namun, lama-kelamaan akhirnya aku mulai terbiasa. Bahkan kini aku sudah lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata. Mungkin karena terlalu pedih hingga air mataku menguap entah ke mana. Aku menyembunyikan luka dengan menghibur diri dan menghibur teman-teman agar mereka gembira. Aku tertawa, tapi itu hanya untuk menutupi segala perih hati yang selama ini kurasa.

“Pabbura iyya manenna malasae iyana itu ati senang'e.”[2]

Ya aku percaya dengan kata-kata itu. Sebab itu lah, aku selalu berusaha agar aku selalu bahagia dengan berbagai cara. Tentu dengan cara yang lebih dan bertanggung jawab. Pun tetap sesuai dengan norma dan aturan agama. Meski pada kenyataannya setelah itu, kadang aku masih larut dalam hati yang patah.

Entah siapa yang harus dipersalahkan atas semua yang telah terjadi dalam hidupku. Entah siapakah orang yang seharusnya paling bertanggung jawab dengan ini semua.

 

Ya Rabb

Kuatkan hati yang rapuh agar tidak terjatuh

Hiburlah hati hamba

Dengan janji-Mu yang baka

Kuatkan langkah

Lihat selengkapnya