Langit meredup. Matahari pelan-pelan menuju garis di ujung cakrawala. Warnanya indah, Tuhan melukisnya tanpa cela, begitu cantik, tak ada mata yang tak akan kagum dibuatnya. Menjelang magrib kami sudah tiba di Kota Sengkang. Mobil terus melaju hingga kami tiba di tepian Sungai Walanae. Kulihat burung-burung terbang pulang ke sarangnya. Beberapa nelayan kulihat mulai berdatangan menjemput rezeki-Nya ke tengah danau.
Sepanjang perjalanan tadi Puang Bahar dan Enre tak berhenti menceritakan tentang bapakku. Tentang perubahan bapak yang makin hari makin menunjukkan sikapnya yang baik. Katanya bapak sudah rajin ke masjid. Meski bapak sudah tidak menjadi nelayan lagi di Danau Tempe tapi katanya bapak rajin membantu usaha Puang Bahar di pasar. Katanya bapak makin perhatian dengan keluarga. Seribu “katanya” cerita tentang bapak bukan membuat hatiku makin luluh, malah sebaliknya. Aku muak. Hatiku makin geram dibuatnya. Entah mengapa aku tak percaya sama sekali saat mendengar ucapan mereka.
Enre menghentikan mobilnya di Masjid Besar Al Manar Tempe yang terletak di sekitar tepi Sungai Walanae. Tak berapa lama terdengar seorang muazin mengumandangkan azan magrib dari suara merdunya. Akhirnya aku bisa menginjakkan kakiku lagi di masjid ini. Dulu aku juga sering salat di sini bersama Enre dan Puang Kasii yang menjadi imam tetapnya. Suasana masjid mulai ramai. Kulihat satu persatu jamaah mulai berdatangan. Ada yang langsung masuk ke ruang utama salat ada juga kulihat baru saja masuk dan keluar dari tempat wudu. Kami turun dari mobil dan segera menuju tempat wudu yang letaknya di serambi kanan. Aku melangkah penuh semangat sambil tersenyum karena membayangkan akan menemui Puang Kasii hari ini. Usai berwudu aku segera menuju ruang utama salat menyambut hidangan surga yang sebentar lagi akan kami laksakan, salat magrib berjamaah.
Kuarahkan pandanganku ke arah mihrab. Namun tak kulihat ada sosok Puang Kasii di sana. Aku bertanya pada Enre yang berdiri di sebelahku. Enre pun tak tahu. Sebab biasanya memang Puang Kasii yang menjadi imam di masjid ini. Tak berapa lama iqomat pun berkumandang. Jamaah sudah bersiap membentuk saf. Aku berdiri di sebelah kanan saf ke tiga. Enre tepat berada di sebelah kiriku. Sementara Puang Bahar berada di saf pertama tepat di belakang imam. Aku penasaran siapa orang menggantikan Puang Kasii menjadi imam. Tak berapa lama kulihat sosok anak muda maju memimpin kami untuk salat.
***
Magrib sudah tertunaikan, aku masih dengan keadaanku yang duduk bersila, sambil memuji dengan zikir-zikir sederhana. Doa-doa dan pujian kupanjatkan seperti hari-hari sebelumnya pada tiap-tiap habis salat. Doa yang seperti biasanya, sederhana, karena aku bingung hendak bermohon apa pada-Nya. Kurang dari dua menit pun doa telah selesai kulantunkan. Kulirik Enre dan Puang Bahar masih tampak hanyut dengan dengan zikir dan doanya. Mereka tampak khusuk sekali melafazkan zikir-zikir indah yang terdengar lirih di telinga. Tak terkecuali imam muda yang tadi memimpin salat magrib. Suaranya terdengar lirih indah dan dan membuat syahdu suasana.
“Duhai sahabat, apa yang kau rapalkan, hingga doamu terasa begitu nikmat,” batinku sambil melihat ke Enre yang sedang khusyu berdoa.