Tepat di salam kedua di akhir salat isya tadi aku segera beranjak. Aku bergegas meninggalkan saf jamaah salat. Aku tak ingin bapak mengetahui kehadiranku di sini. Aku tak ingin bapak sadar bahwa aku berada di sebelahnya sejak salat tadi. Doa kulantunkan sambil berjalan dengan tergesa menuju mobil Enre. Aku berjalan lurus sambil menunduk tanpa mempedulikan orang-orang di sekitar yang juga mulai meninggalkan masjid. Setibanya di mobil aku langsung masuk dan bersembunyi di kursi belakang.
Sekitar lima menit berlalu aku mengintip ke arah pelataran masjid. Kulihat jamaah salat mulai banyak yang meninggalkan masjid. Tak berapa lama kulihat Enre pun keluar dan terlihat kebingungan, mungkin ia mencari-cariku yang tiba-tiba menghilang tak memberinya kabar. Enre celingak celinguk melihat sekitar masjid yang mulai sepi. Aku meneleponnya untuk memberi tahu kalau aku sudah berada di mobilnya.
“Kau tak menemui bapakmu dulu, Lang?”
“Hah … ada bapak?” ucapku pura-pura tak tahu.
Kulihat dari kejauhan Puang Bahar menghampiri Enre. Tak berapa lama kulihat bapak dan Puang Kasii menyusul di belakangnya. Mereka berempat berdiri di pelataran masjid sambil berbincang-bincang. Sekilas terdengar suara dari ponsel Enre kalau bapak menyebut-nyebut namaku. Mungkin Puang Bahar sudah menceritakan pada bapak kalau hari ini ia menjemputku di bandara dan sejak magrib tadi sudah tiba di Sengkang. Sekilas aku mendengar suara bapak meski terdengar tak begitu jelas. Aku mendengar betapa gembiranya bapak saat mendengarku pulang dengan suara tergagap-gagap dan pelafalannya yang kurang begitu jelas. Kulihat Enre berjalan menjauh dari mereka lalu kembali melanjutkan teleponnya.
“Sudahlah tak usah pura-pura tidak tahu. Ini bapakmu mau bertemu denganmu, Lang?”
“Please, Re, jangan sekarang,” pintaku memelas, “aku belum siap.”
“Terus aku harus bilang apa pada bapakmu?”
“Terserah kau bilang apa ke dia, yang jelas please jangan sekarang. Aku butuh waktu,” ucapku memohon, “Kau mengertikan?”
Aku menutup telepon lalu mengintip lagi ke arah mereka. Kulihat Enre sedang berbicara dengan bapak. Entah apa yang dikatakan Enre pada bapak sebagai alasan kalau aku belum bisa menemuinya. Wajah bapak yang semula terlihat gembira mendadak muram setelah Enre berbicara denganya. Bapak menundukkan kepalanya lalu Puang Bahar menepuk pelan punggung bapak sambil mengucapkan sesuatu yang entah apa padanya. Puang Kasii terlihat meraih tangan bapak dan mengajaknya pulang. Puang Bahar dan Enre berjalan ke arah mobil sementara Puang Kasii dan bapak berjalan berdua ke arah pulang. Aku pun keluar dari persembunyian di kursi belakang saat kondisi mulai aman. Baru beberapa langkah saja meninggalkan pelataran masjid, aku kaget saat bapak tiba-tiba membalikkan badannya dan melihat ke arah mobil Enre. Jantungku berdetak tak karuan dan segera bersembunyi kembali di balik kursi. Semoga ia tak melihatku.