Matahari tampak cantik muncul di ufuk timur. Rumah-rumah panggung yang berjajar di sepanjang sungai masih tampak gagah seperti terakhir kulihat beberapa tahun lalu. Pagi itu aku melihat sebuah pemandangan khas masyarakat yang kehidupannya tak bisa lepas dari danau dengan profesi mereka sebagai nelayan. Pukul enam pagi aku dan Enre sudah tiba di tepi Sungai Walanae. Semalam sebelum akhirnya kami terlelap aku meminta Enre untuk menemaniku pagi ini untuk bertemu dengan Puang Kasii. Sebelum pulang ke rumah, aku ingin menemui beliau yang belum sempat kujumpai di masjid tadi malam. Shubuh tadi pun aku tak menemuinya karena kami tidak sholat di Masjid Besar Al Manar Tempe tempat biasa Puang Kasii menjadi imam. Shubuh kali ini kami berjamaah di Masjid Al Mujahidin sebab jaraknya lebih dekat sekitar 400 meter dari rumah Enre.
Kami berjalan makin dekat ke arah ketiting, sebuah perahu nelayan berbentuk panjang dan ramping yang biasa digunakan untuk menyusuri sungai dan menjelajahi Danau Tempe. Biasanya pagi-pagi begini Puang Kasii sudah ada siap untuk menyewakan ketintingnya pada wisatawan yang ingin menyusuri Danau Tempe yang menawarkan keindahan alamnya. Rencananya pagi ini aku ingin bertemu dan berbincang melepas rindu dengannya sambil berlayar ke tengah danau seperti kebiasaan kami beberapa tahun sebelumnya. Beberapa orang pemilik ketinting tersenyum ramah sambil menawarkan jasanya pada kami. Aku memperhatikan satu persatu ketinting yang berjajar rapi memastikan ada ketinting milik Puang Kasii di sana. Ketinting milik Puang Kasii berbeda dengan milik nelayan lainnya. Ada kaligrafi berlafazkan dua kalimat syahadat di bagian ujung-ujung ketintingnya.
Mataku menyisir tepi sungai memperhatikan satu persatu nelayan di sana. Kami berjalan pelan menuju salah satu ketinting yang berada paling ujung. Mataku terus memperhatikan sekitar memastikan ada Puang Kasii di salah satu nelayan yang sedang berkumpul di tepi sungai.
“Puang ….” teriak Enre sambil melambaikan tangan.
Kulihat Puang Kasii berdiri tak jauh dari kami sedang menyiapkan ketintingnya untuk berlayar. Lelaki paruh baya itu membalasnya dengan lambaian. Kulihat ada senyum lebar di wajahnya. Senyum teduh nan tulus yang masih sama seperti dulu dan tak pernah berubah. Aku mempercepat langkah berjalan makin mendekat. Aku sudah tak sabar ingin segera menumpahkan rinduku yang sudah menumpuk bertahun-tahun lamanya. Puang Kasii berjalan pelan menyongsong ke arahku sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar.
Segera kupeluk erat Puang Kasii sesaat aku berada di hadapannya. Aku tak dapat menahan haru dengan pertemuan yang begitu syahdu di pagi ini. Puang Kasii menepuk-nepuk pelan punggungku persis seperti yang ia lakukan dulu saat aku menangis di pelukannya saat mendapat perlakuan buruk dari bapak. Cukup lama aku membenamkan wajahku di pundaknya.
“Aga kareba nak?[1]” tanya Puang Kasii pelan di telingaku.
Kulepas pelan-pelan pelukanku dan mengusap air mata yang jatuh deras di pipiku.
“Pitu taung de' mulisu, de'ga muddani akko puang?[2]”