Setengah jam lebih kami berkeliling Danau Tempe. Sepanjang mata memandang tampak tanaman eceng gondok yang membentuk rangkaian saling berkaitan bak pulau-pulau. Mulai gugusan kecil hingga besar mereka bergerak mengikuti gerak riak air danau. Bungka toddo’, tiang-tiang bambu berbentuk segi tiga digunakan warga setempat untuk menahan gugusan eceng gondok itu agar tidak bergerak liar. Warga sengaja memancang bungka toddo’ sebagai batas wilayah mereka mencari ikan. Meskipun hal tersebut kadang menjadi konflik tersendiri di antara nelayan dalam menentukan area pencarian ikan. Nyatanya banyak juga para nelayan yang melanggar batas wilayah yang sudah ditetapkan pemerintah daerah sepanjang 500 meter.
Sepanjang perjalanan mengelilingi danau tadi Puang Kasii bercerita banyak tentang hal yang tak aku ketahui selama tujuh tahun meninggalkan Sengkang. Seperti biasa ia pun menyelipkan sedikit nasihat-nasihat indahnya dengan bahasa yang sederhana. Ia tahu aku orang yang keras hati tak mudah dinasihati maka ia pun menasihatiku dengan cara yang lembut sekali. Puang Kasii tahu aku akan melakukan penolakan jika terkesan digurui. Bagiku kata-kata nasihat yang terlalu frontal ibarat peluru-peluru tajam yang siap menyerangku.
Hampir tidak akan terdengar ayat-ayat Alquran yang keluar dari mulut Puang Kasii saat menasihatiku meski aku tahu ia sangat berkompeten di bidangnya. Aku pun tahu apa yang disampaikannya tentang bagaimana seharusnya seorang anak berbakti pada orang tua tertuang dengan indah dalam ayat-ayat-Nya. Puang Kasii mengolah sabda Nabi dan firman-Nya menjadi sedemikian rupa hingga bisa diterima secara universal oleh berbagai kalangan. Kadang ia menyampaikannya dengan memberikan permisalan atau cerita-cerita yang mengandung hikmah.
Tiba-tiba Puang Kasii mengambil dompet dari saku celananya lalu ia mengambil selembar kertas dari dalamnya. Puang memberikan kertas itu kepadaku dan memintaku membukanya. Aku masih belum paham apa maksud semuanya. Aku hanya menuruti perintahnya dengan membuka kertas putih yang terlihat lusuh dengan noda kuning di bekas lipatannya. Aku melihat ada sebuah tulisan tangan di sana yang hampir tak bisa kubaca. Entah tulisan siapa. Seperti tulisan tangan anak yang baru saja masuk sekolah. Aku yakin itu bukan tulisan tanganku meski dulu aku sering menuliskan segala perasaan hati dan memberikannya pada Puang Kasii. Aku masih hafal goresan tanganku sendiri. Lalu ini tulisan siapa dan untuk apa Puang Kasii menyimpannya?
“Itu tulisan bapakmu,” ucap Puang Kasii.
Aku terperanjat. Sejak kapan bapak bisa menulis apalagi sampai sepanjang ini. Aku pernah melihat tulisan bapak di kalender rumah tapi seingatku tulisannya lebih bagus dari yang kulihat ini. Aku masih tak percaya dengan ucapan Puang Kasii yang baru saja ku dengar. Namun aku yakin ia tak mungkin berdusta. Aku menatap matanya dengan sorot mata tak percaya. Lalu Puang Kasii melanjutkan lagi ucapannya.
“Setahun setelah kepergianmu dari rumah bapakmu sakit untuk sekian lama.”
Aku kembali teringat cerita Uleng dan Enre beberapa tahun lalu saat mengabarkan bapak sakit. Kali ini Puang Kasii menceritakannya kembali kejadian itu dengan lebih rinci sebab dia yang membantu pengobatan bapak selama sakit. Berbulan-bulan Puang Kasii membantu menjaga bapak di rumah sakit. Hingga pulang ke rumah pun Puang Kasii masih ikut membantu merawatnya. Dalam keadannya yang tidak berdaya dan hanya bisa berbaring di tempat tidur saja bapak tersadar bahwa manusia itu lemah. Bapak sadar bahwa yang peduli tanpa pernah pamrih padanya hanyalah keluarga bukan teman-teman bermain judinya. Selama sakit itu lah bapak mulai menyadari segala kekhilafannya. Ia teramat sedih mengingat segala kesalahan yang pernah diperbuatnya. Berbulan-bulan hanya terbaring lemah bapak makin putus asa. Puang Kasii lah orang yang mampu menguatkan hatinya.
“Kesalahannya pada Allah sudah bapakmu sadari dan mentaubatinya dengan menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap hari. Kesalahannya pada keluarganya pun sudah ia sadari dan bapakmu memintakan keridhoan atas semuanya pada ibu dan adikmu. Sebab dosa kepada manusia tidak cukup hanya dengan bertaubat untuk tidak mengulanginya kembali. Namun juga harus meminta maaf dan keridhoan pada orang yang telah terzalimi hatinya. Hanya satu yang masih mengganjal di hatinya sebab ia belum meminta maaf dan ridho padamu atas kesalahannya di masa lalu.”
Puang Kasii menceritakan semua tentang bapak sambil berlayar menyusuri Danau Tempe dengan segala keindahannya. Puang Kasii menceritakan segala hal yang tak kuketahui selama bertahun-bertahun ini. Aku memang pernah mendapat telepon dari bapak, tapi tak pernah kuangkat. Jika mengaitkan dengan cerita yang baru saja kudengar dari Puang Kasii, mungkin telepon bapak waktu itu bermaksud meminta maaf padaku. Namun rasa benci ini sudah terlanjur menumpuk di hatiku. Aku sudah tak ingin lagi sedikit pun mendengar suaranya. Bahkan aku sudah tak ingin tahu segala apa pun tentangnya.
“Aku menyadari banyak kesalahan yang kuperbuat padanya. Aku tahu dia begitu benci dan sakit hati bahkan tak sudi lagi mendengar permintaan maaf ini,” ucap Puang Kasii menirukan ucapan bapak waktu itu, “Lalu bagaimana jika sampai aku mati dan Wellang tak memaafkan kesalahanku ini?”
Puang Kasii menceritakan pengalamannya selama berbulan-bulan merawat bapak. Selama itu pula ia menyaksikan betapa bapak menanti kabar tentangku melalui pesan dan telepon yang biasa disampaikan melalui Uleng dan Enre. Namun aku tak pernah menggubrisnya saat mereka memintaku pulang ke rumah. Bapak sangat gelisah jika sampai akhir ajalnya tak juga bisa bertemu denganku untuk memaafkannya. Kata Puang, sejak bapak sakit ia selalu ingin tidur di kasur bekas tidurku dan ia selalu menangis jika melihat kalender yang kulingkari dengan spidol warna merah di dinding kamarku. Di dalam sakitnya yang masih belum juga sembuh itu bapak selalu menyebut-nyebut namaku. Pembicaraannya tak lepas dari pertanyaan yang menanyakan kapan aku pulang. Di setiap tahun saat hari raya bapak juga selalu menungguku di depan pintu rumah. Ia berharap kalau saja aku pulang dan ia akan bisa menyambutnya langsung dengan tangannya.
Puang Kasii menceritakan tentang surat dari bapak yang ada di tangannya. Bapak memberikan surat itu usai sholat shubuh pada Puang beberapa tahun lalu. Ia meminta Puang menyampaikannya langsung padaku jika bertemu. Katanya bapak khawatir kalau umurnya tak panjang dan belum bisa bertemu denganku. Dengan tangannya yang gemetar karena efek dari penyakit yang dideritanya bapak menumpahkan perasaannya dalam tulisan. Pantas saja kulihat tulisannya tak beraturan, tapi masih bisa terbaca. Puang Kasii juga mengatakan tentang harapan bapak dari surat yang ditulisnya. Setidaknya dengan tulisannya itu bapak ingin menunjukkan padaku bahwa ia sudah berikhtiar semampunya untuk meminta maaf atas semua yang pernah dilakukannya.
“Kau boleh tak percaya kalau bapakmu sudah berubah. Kau juga boleh benci bapakmu sejadi-jadinya. Tapi mau sampai kapan?” ucap Puang Kasii sambil menatapku tajam lalu memintaku membaca surat yang ditulis langsung oleh bapakku.
Aku menerima surat itu dengan tangan sedikit bergetar. Apakah benar ini surat dari bapak atau hanya rekayasa Puang saja agar aku mau memaafkan Bapak. Aku menarik napas dalam sambil menatap Puang.
“Bacalah, setelah itu Puang serahkan semua padamu,” katanya pelan.
Kubuka surat itu. Tulisan pertama yang aku baca adalah : Untuk anakku, Ramadhan Rawellangi.
Hatiku bergejolak. Benarkan ini Bapak? Benarkah Bapak menyebut namaku lengkap? Ah ... ada yang menggenang di sudut mataku.