Sekitar setengah jam akhirnya kami tiba di tepi Sungai Walanae. Kami turun dari ketinting lalu berjalan menuju mobil Enre. Aku dan Puang Kasii berjalan beriringan di belakang Enre. Langkahku tak terlalu cepat. Namun debar jantungku berdetak seperti tiga kali lipat. Jika biasanya rumah menjadi tempat ternyaman untuk pulang bagi kebanyakan orang tetapi berbeda dengan yang kurasakan. Berjalan menuju rumah masih menyisakan rasa ketidaknyamanan persis seperti belasan tahun lalu saat hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Ragaku berjalan dengan terpaksa untuk pulang tetapi entah hatiku tertinggal di mana.
“Ikhlas, Wellang,” ucap Puang Kasii yang duduk di sebelah Enre di kursi depan saat perjalanan mengantarku pulang, “ikhlaskan segala kepahitan di masa lalu. Itu obatnya agar hatimu menjadi lapang dan bahagia.”
Aku tahu apa seharusnya kulakukakan. Telah berkali-kali nasihat itu masuk ke dalam telingaku dari Raya, Enre. Kali ini Puang Kasii pun memintaku hal yang sama. Namun rasanya tak semudah itu hatiku menghapuskannya. Semua sudah terlanjur mengendap dan menghitam dalam relung hati paling dalam.
“Sulit memang,” lanjut Puang Kasii, “ini bukan semudah perkara meminum susu untuk menghilangkan rasa pedas di lidah.”
“Berat, Puang.”
Puang Kasii mengangguk.
“Ikhlaskan lah semampumu,” ucap Puang Kasii sambil menunjuk ke arah dadanya, “Sejenak tenangkan diri dan berbaik sangka bahwa mungkin lelaki itu tidak tahu cara mengungkapkan perasaannya. Lupa bahwa anaknya berwujud manusia bernyawa yang perlu diajak bicara. Sejenak berpikir yang baik-baik saja bahwa ia tak sempat memelukmu dengan manja sebab lelah bekerja. Ia tak ingin bau anyir tubuh usai menangkap ikan mengotori anak kesayangannya.”
Sekitar lima menit akhirnya kami tiba di depan gang rumahku di jalan Andi Paranrengi. Mobil Enre tak bisa lewat karena jalan masuk yang sempit. Ia memarkirnya di tepi jalan lalu kami masuk ke dalam gang berjalan kaki menuju rumah. Tujuh tahun tak pulang masih tak banyak yang berubah. Para tetangga masih sama, hanya satu dua rumah kontrakan saja yang sudah berganti pemiliknya. Aku masih mengenali mereka satu persatu wajah mereka. Namun mereka sepertinya sudah tak mengenali wajahku.
Kami berhenti di salah satu rumah yang di depannya ada warung kecil yang letaknya berbeda lima rumah dari rumahku. Aku membeli minum air mineral dan beberapa jajanan ringan. Aku tersenyum sambil membayar belanjaanku pada ibu penjualnya lalu ia menyapa Puang Kassi dan Enre. Penjual itu berbincang basa-basi pada Puang Kasii. Sekilas kudengar ia berbisik pada Enre menanyakan orang asing yang baru saja belanja di warungnya yang tidak lain adalah aku. Rasanya ingin tertawa saat ibu itu tak mengenaliku. Padahal dulu aku sering sekali jajan di warungnya. Bahkan ia dulu juga sering memberikanku jajanan secara cuma-cuma. Apa benar seperti yang Enre bilang kalau penampilanku sudah berubah hingga mereka tak sadar kalau aku ini adalah tetangga lamanya.
“Coba ibu lihat dalam-dalam, masa nggak ngenalin?” ucap Enre.
Aku tersenyum saat melihat ibu itu mengerutkan dahinya.