Andri bisa saja memilih kuliah di universitas yang satu pulau dengannya. Toh, universitas di pulaunya terkenal sebagai universitas terbaik. Apalagi di kota yang dia tinggali. Tetapi Andri tidak melakukannya. Tidak, dia tidak mau.
Sudah lama dia menunggu waktu kuliah untuk mengambil kesempatan pergi jauh. Dari rumah, dari teman-teman, dari keluarga.
Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun orang di SMA selama kuliah. Tidak, mereka tidak cocok dengan Andri. Ada banyak hal buruk yang membuat Andri merana selama SMA.
Jadi, tidak ada salahnya kalau dia mau pergi sejauh-jauhnya dari lingkungan toxic seperti itu, bukan?
Andri sudah tiba di salah satu Ibukota Provinsi yang dipilihnya dengan hitung kancing saat mendaftar dulu. Ada 2 universitas yang bisa dituliskan di formulir. Dan Andri memilih keduanya dengan menghitung kancing kemeja yang dia pakai saat itu. Itu sebabnya ketika dia dinyatakan lolos di Universitas pilihan pertamanya, dia tidak senang dan justru kebingungan.
Bagaimana dia bisa hidup di tempat asing?
Beruntung, Ayahnya ikut membantu mencari kos yang sesuai dengan pesanan Andri. Jangan yang mahal. Yang dekat kampus. Kalau tidak, Andri tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari pertamanya di sini kemarin.
“Mas, benar ada orang yang mau sekamar dengan saya?” tanya Andri kepada salah satu kakak tingkat di kampusnya, yang juga salah satu tetangga kosnya.
Kakak tingkatnya tidak menjawab karena masih sibuk makan dengan lauk yang sudah dibagi dua, sekalian untuk makan malam.
Andri tidak mengerti kenapa mahasiswa selalu melakukan pengiritan macam ini. Anak sekolah harus pintar, dan untuk pintar harus kenyang. Itu yang dikatakan Eyang Putrinya dulu, ketika dia masih sekolah dasar.
Dulunya, Andri mengira kehidupan mahasiswa kos yang serba hemat hanya ada di meme-meme lucu. Untuk menjadi bahan tertawaan. Tetapi rupanya hal tersebut betul-betul ada di dunia nyata dan itu membuat Andri cukup terkejut.
“Tenang saja, dia sampai hari ini,” ucap kakak tingkatnya sambil menjilati jarinya. Andri mengerutkan dahi dengan jijik.
“Pakai kobokan, toh, Mas. Ngapain dijilat?”
Kakak tingkatnya yang baru dikenal seminggu itu cuma tertawa kecil, “Sunnah Rasulullah ini, Ndri. Habis ini dicuci, kok. Santai aja.”
Kakak tingkatnya berdiri sambil membawa piring kotornya ke kamar mandi yang ada di luar kamar kos. Andri mendengar suara air yang mengalir dan bau sabun cuci piring dengan samar.
Tidak berapa lama, Kakak tingkatnya kembali masuk dan menata piring yang baru ia gunakan ke dalam sebuah rak plastik berwarna biru kusam. Kakak tingkat tersebut mengambil segelas air dan meminumnya hingga tandas.
“Kayaknya calon kawan sekamarmu itu sudah sampai. Dia berangkat dari pukul 4 subuh tadi, jadi seharusnya ini sudah ada di tempat janjian.”
Tepat setelah mengatakan hal tersebut, telepon genggam milik kakak tingkat itu berbunyi. Isinya pesan dari Alif yang mengabarkan bahwa dia sudah sampai di terminal. Dia menyeringai dan menunjukkan layar ponselnya kepada Andri.
“Apa kataku, sudah sampai dia. Kau jemput dia sanalah, Ndri.”
“Saya, Mas?” tanya Andri terkejut akan tugas tiba-tiba tersebut.
“Iya, kau saja yang jemput, di depan komplek CG, tahu, kan? Sekalian kalian nanti bisa ngobrol selama perjalanan kemari. Aku ada pertemuan BEM di kampus siang ini. Bisa, kan, Ndri?”