“Bang, minggir!”
Sori sudah berdiri dari tempat duduknya bahkan sebelum angkot betul-betul berhenti. Beberapa orang menatapnya sinis. Maklum, Sori memiliki badan yang tinggi dan besar. Sehingga setiap pergerakannya selalu bisa membuat ruang kecil seperti angkot tampak penuh.
Belum lagi dia membawa tas-tas besar berisi baju dan buku. Membuat angkot itu terasa benar-benar penuh di setiap pergerakannya.
Angkot berhenti total di depan sebuah pertamina. Sori melompat dan membayar ongkosnya. Setelah semua barang bawaan sudah turun, Sori merogoh saku belakang celana jeansnya dan mengeluarkan selembar kertas. Dia membaca sebaris alamat, lalu mulai berjalan dan memasuki sebuah gang.
***
“Kos Aditya?”
Sori mengangguk, kembali mengangsurkan alamat kepada ibu-ibu penjaga warung. Ibu itu melihat alamatnya sekilas, lalu menunjuk sebuah gang lagi.
“Itu, kau masuk gang itu lalu jalan saja terus. Nanti ada warung sampah, kelang 5 rumah kau bakalan jumpa sama kos Aditya.”
Sori mengucapkan terima kasih dengan samar lalu berjalan menuju arah yang ditunjuk. Ketika hendak berbelok ke gang yang ditunjuk, dia menabrak seseorang.
Sori mengeluarkan suara terkejut, tapi badannya masih kokoh berdiri. Sementara orang yang ditabraknya setengah berteriak dan terjengkang ke belakang. Sori menatap orang yang ditabraknya dengan bingung.
Seorang pemuda berbadan agak kurus dan tinggi. Sekarang pemuda itu sedang mengerang sambil mengelus pantatnya yang membentur tanah dengan keras. Kacamata yang dipakainya tebal dengan rambut yang tampaknya sudah 3 minggu tidak dipangkas.
Tapi gerak-gerik anak itu tidak asing di mata Sori.