“Kau Sian, kan? Sian si Bencong?”
Sian berhenti mengaduh dan segera mendongak. Sian si Bencong itu julukannya ketika SD. Tubuhnya yang kurus ringkih ditambah kulit putih susunya yang halus nampak mencolok di antara kawan lelakinya yang lebih maskulin.
Sian juga pendiam. Sian pintar. Sian tidak suka berkelahi. Dia juga penakut.
Semua hal itu cukup untuk membuatnya dapat label Sian si Bencong.
Sian benci panggilan itu. Jadi, begitu lulus SD dia memutuskan untuk ikut tinggal bersama Ayahnya yang seorang tentara ke daerah lain. Agak pedalaman memang. Tapi paling tidak, olokan itu tidak tersemat lagi di punggungnya.
Sian mendongak dan melihat tangan cokelat dengan otot liat yang terulur, hendak membantunya berdiri. Sian ragu, tapi tidak enak jika mengabaikan pertolongan dari seseorang. Dia menjabat tangan itu. Telapak tangannya kasar seperti orang yang biasa bekerja keras, khas pemuda-pemuda dari kampung.
“Kau Sian, kan? Betul?” tanya orang itu lagi, kali ini nadanya lebih mendesak. Sian menyipitkan matanya samar. Kalau ada orang yang tahu soal Sian si Bencong, maka itu pasti teman SDnya.
Masalahnya, Sian tidak terlalu suka mengingat orang-orang yang berada pada SD yang sama dengannya.
“Aku Sori. Kau gak ingat? Anak 6B. Sori si Bongsor.”
Sori?
“Oh,” jawab Sian singkat dan agak datar. Hanya sebuah gumaman singkat. Dia tidak suka pada siapapun yang berasal dari SD yang sama dengannya. Siapapun. Termasuk pemuda di depannya ini.
Wajah orang itu tampak agak tersinggung, tapi Sian tak mau ambil pusing. Dia tidak ingat siapa Sori, tapi malas berbasa-basi lebih lanjut. Gumaman singkat akan mempercepat pertemuan ini.
Kenapa pula aku mesti ketemu orang-orang dari SD keparat itu di sini?
Orang yang mengaku bernama Sori itu mengatakan sesuatu yang langsung dibalas dengan satu kalimat sakti. “Duluan, ya.”
Tanpa mengindahkan orang itu lagi, Sian melanjutkan langkah. Moodnya berubah buruk. Sialan.
***
“Dua sabun colek dan satu sabut cuci piring.”
“Iya, Buk. Berapa?”