What's Done can't be Undone

siucchi
Chapter #6

Perjodohan Suaminya

Kafe baru saja buka pukul sepuluh, Dira sudah di tempat sebelum jarum panjang menunjuk angka dua belas. Masih kurang dari sepuluh menit waktu perjanjian ia sudah di lokasi parkir. Suaminya mengantar sampai depan, setelah mengecup ringan mereka mulai berpisah. Rendi akan menuju kantor untuk rapat bersama timnya dan dilanjut makan siang bersama seorang direktur perusahaan besar—demi prospek bisnisnya.

“Jangan lama-lama, ya, sayang, jam satu, lho. Pokoknya kamu harus ikut, sudah lama kamu tidak ikut meeting-meeting begini.” ujar suami mengingatkan.

Dira mengangguk. “Iya, nanti sebelum jam satu aku sudah di Resto Bebek. Ini, mah, sebentar saja, kok, cuma temu kangen.”

Jika agendanya meeting dengan prospek bisnis yang membawa pada kemajuan perusahaan, maka duet Rendi dan Dira tak layak dipisahkan. Hari ini tak banyak agenda, Dira hanya ingin bertemu dengan seorang teman di pagi hari dan membuat peluang keuntungan usaha di siang hari.

“Ya, sudah, ciumnya mana.” sahut Rendi, lebih terdengar seperti nada perintah.

Dira menyosor pipi si suami, lalu mengulas senyum sembari mendorong keluar pintu mobil. Usai berucap kata cinta ia melambai. Melihat kendaraan yang dikemudikan suaminya berbelok dan menghilang di tikungan, Dira langsung berbalik dan menaiki tangga menuju pintu masuk—buru-buru agar tak lama disengat panas pagi hari. Baru saja papan gantung bertuliskan close diputar oleh salah seorang pegawai berseragam, Dira mengulum senyum dan mendorong pintu masuk.

Ia menempati tempat di samping kaca besar, selain bertujuan untuk lebih mudah menemukan eksistensi kawan yang ditunggu, ia bisa mengalihkan pandang ke arah yang lebih luas jika saja diam menguasai suasananya. Namun heningnya tak lama diresapi, sebab sebuah vokal langsung memanggil tatkala pantatnya baru saja mendarat di kursi.

“Dira! Aku disini!”

Nama seorang wanita yang mengangkat tangan ke arahnya adalah Permata, seorang sahabat yang mengajaknya bertemu di hari kerja. Tas jinjing kecilnya lantas diraih dan beranjak menuju tempat Dira. Sambil berlari kecil ia menyahut, “Cepat juga kamu datang, aku juga baru sampai!”

“Hai, Permata,” Dira menerima rangkulan singkat dari si sahabat, “kamu sudah sampai duluan, ya.”

“Ya, mana mungkin kubiarkan orang sibuk menunggu, hehe.” cengirnya lebar, kursi ditarik dan ia lekas duduk di hadapan Dira.

Seorang pramusaji menawarkan menu, Dira melirik sekilas tapi tidak memilih, "Lemon tea saja,” ucapnya ringan.

“Lho, tidak mau yang ada es krimnya? Aku yang traktir!” tuturnya antusias.

Dira menggeleng, “Aku tidak bisa makan macam-macam kalau masih pagi, nanti sembelit.”

“Ah, benar, juga,” Permata menyerahkan buku menu, “aku juga lemon tea, less sugar.” kemudian ia menyondongkan bahu setelah si pegawai kafe pergi, “bagaimana kabar Hasan dan Husein? Dititip di neneknya? Umurnya belum setahun, kan?”

Sambil terkekeh, Dira mengangkat kedua alis, “Ya, begitulah, karena hari ini aku ada meeting juga. Biasanya mereka ikut ke kantor. Sekarang si kembar ini sudah mau empat bulan, aku juga baru bisa membawa mereka keluar rumah setelah tiga bulan.”

“Wah, sudah besar, ya, dua anak ganteng.” Permata menaikkan tangan, menyingkap lengan baju dan menilik jam tangan, “waktuku hanya dua jam, harus kumanfaatkan dengan baik, nih.”

Ia menyungging tawa, “Hahaha, memangnya apa yang mau kamu bicarakan?”

“Jadi begini...” raut wajah si Permata mulai terlihat serius, ia menumpu dagu pada kedua tangannya, “ada temanku yang katanya sangat ingin bertemu denganmu. Dia teman kantorku, sih, lebih tepatnya aku bekerja di tempat dia. Tapi aku tidak tahu bagaimana dia bisa kenal denganmu, tiba-tiba saja dia minta dipertemukan.”

Dira mengerutkan dahi, “Lho, kok bisa begitu, sih? Urusan bisnis atau apa?”

Permata mendecak, “Bukan,” ia memutar bola mata, “aku, tuh, sebenarnya tidak dekat dengan dia, tapi dia disegani, nanti kamu akan tahu.”

“Terus mana orangnya?” pandangan Dira mengelilingi bangku-bangku kafe yang lebih banyak kosong—dan itu pula yang menghantarkan matanya pada sebuah tempat yang didiami oleh seorang wanita berhijab lebar di dekat meja kasir, “itu?”

“Iya, aku tidak tahu kenapa dia mau kenal denganmu, mungkin urusan bisnis juga, dia tidak bilang padaku mau apa, aku juga baru berapa hari kenal sama dia.”

Dibalas anggukan, ia mengisyaratkan sahabatnya untuk bawa saja si wanita berhijab ke meja mereka.

“Oh, mau dibawa kesini sekarang?” ada nada hesitensi dari suara Permata, “kata orang-orang dia nekat dan berani, aku khawatir sebenarnya.”

Bukan kali pertama Dira dipertemukan dengan orang tidak dikenal, kebanyakan memang urusan bisnis yang membutuhkan modal untuk disukseskan. Untuk momen kali ini, Dira tidak mencemaskan apa-apa, ia akan mendengarkan apa saja yang hendak diutarakan oleh si wanita berhijab panjang ini.

Baju gamis ungu menyeret lantai kayu, bunyi langkah sepatu terfokus menuju ke arah mereka. Dira menyungging senyum dari jauh, mengeluarkan aura hangat agar terkesan akrab. Seorang perempuan muda menghampiri sambil menangkupkan kedua tangan, lalu lanjut berinisiasi cipika-cipiki.

“Assalamu’alaykum...” katanya lembut, si gadis bergamis kemudian duduk setelah Permata mempersilakannya.

Lihat selengkapnya