“Sayang, kamu sudah sholat?”
Dira tidak menjawab. Setiba di Resto Bebek ia langsung duduk di samping suaminya yang lebih dulu sampai. Waktu pertemuan masih dua puluh menit lagi, tapi semuanya sudah terasa meresahkan. Sang istri fokus ke handphone hanya untuk scrolling instagram yang tak berinti pada apa-apa.
Tahu ada yang tidak beres, Rendi gelisah. Istrinya datang dalam kondisi marah dan ia tak tahu sebabnya apa. Mungkinkah pertemuannya tidak berjalan lancar? Atau temannya tidak jadi datang jadi istrinya menunggu sia-sia?
“Sayang, kenapa?” Rendi mengulangi panggilannya, tapi si istri tak menggubrisnya, “ya, maaf, harusnya aku jemput kamu di kafe tadi, kenapa kamu tidak kabari aku saja? Oh, bukan, harusnya aku tungguin kamu di sana.”
Dira melirik, tatapannya tajam, “Ya, seharusnya begitu.”
“Maaf, sayang,” Rendi membelai kepala si istri—merasa sudah case closed—tapi langsung ditepis oleh empunya, “sayang... aku, kan, sudah minta maaf.”
Tanpa menoleh, Dira menjawab, “Kamu tidak perlu minta maaf untuk apa pun.”
“Aku cinta sama kamu.” jawaban andalan kalau sudah buntu.
“Bohong.”
Rendi mulai merangkul sang istri, tak peduli walau isi restoran diramaikan pengunjung yang sekiannya akan terpana pada keromantisan mereka, “Mana mungkin aku bohong, aku selalu cinta sama kamu.”
Cinta adalah palsu. Bualan paling mesra yang menghanyutkan logika. Cinta adalah omong kosong setiap manusia yang berkedok mulia tapi sesungguhnya membawa derita.
“Mas Rendi?”
Terpaksa harus ramah, Dira memasang topeng kedua. Ia sambut kedatangan rekan kerja tujuan pertemuannya dengan senyum dan sapa. Bersama Rendi mereka berbasa-basi tentang kemari lewat mana dan macet di daerah mana.
“Baru ini saya ketemu istrinya Mas Rendi, ya,” sahut seorang pria tua ramah. Rambutnya dipenuhi uban, keningnya yang botak menunjukkan betapa sepuh pria itu menuntut ilmu.
“Ya, istri dan juga partner bisnis saya.” Rendi mengenalkan.
Dira tersenyum, inginnya kecut, tapi ditahan. Ia muak dengan pertemuan.
Makanan yang sudah lama dipesan kini hadir di hadapan, mereka lanjut berbincang setelah para pramusaji selesai menghidangkan. Pak Maulana memulai percakapannya tentang produk alat beratnya yang sering dipakai perusahaan negeri untuk menambang emas dan batubara. Kini perusahaannya sedang menambang di sebuah daerah di Kalimantan Timur, dalam waktu dekat proyeknya akan selesai dan dilanjut dengan konstruksi bangunan. “Kita ini jangan rakus, kalau bisa jadi perpanjangan tangan untuk rezeki orang, pasti jadi berkah.” katanya bijak.
Untuk beberapa alasan, Dira tidak terpukau sama sekali.
Rendi tampak mengangguk antusias, disertai senyuman disela kunyahan daging bebeknya. “Betul, pak, namanya bisnis harus bisa menguntungkan orang lain juga.”
Perbincangan berlanjut ke inti, Pak Maulana memulai konversasi pentingnya setelah menghabiskan makan siang. “Jadi bekas tambang, kan, harus ditutup, entah jadi area wisata atau bagaimana. Saya mau dibuat jalur, ada tempat wisata dan pemukiman warga. Lokasi tambang saya, kan, tidak jauh dari pusat kota, seharusnya bisa jadi tempat strategis untuk properti disana.”
Rendi menanggapi dengan baik, tapi Dira diliputi kecurigaan. Semua senyumnya palsu. Ia menantikan pernyataan yang sesungguhnya ia tak mau dengar sama sekali.
“Nanti Mas Rendi urus yang disana, ya.”
Rendi tertawa, ia menoleh istri minta persetujuan, “Insya Allah, pak Maulana, makanya saya bawa istri, nih, untuk bicarakan ini.”
Dira langsung menyahut, senyum ringannya dikuarkan sambil sesekali menoleh ke arah sang suami, “Tentu saja kita harus bicarakan ini dulu, ya kan, sayang?”
Rendi tersenyum, merasa ada yang tidak beres, “Nah, insya Allah bisa kita siapkan, pak, hanya saja untuk detailnya saya harus bicarakan dengan istri yang juga partner saya.” katanya langsung menatap calon mitra kerja, berupaya menciptakan isyarat ketegasan.
Si pria tua membetulkan letak kacamata, “Tapi istrinya sudah tahu, kan, kalau perusahaan kalian saya ikutkan tender ini dan saya pemodalnya?”