Apakah kamu pernah memikirkan bagaimana kerlap-kerlip lampu yang memenuhi kota begitu sempurna bersanding dengan gelapnya kanvas berlukis langit berbintang? Apakah pernah terlintas di benakmu mengapa angin malam begitu sejuk membelai setiap tubuh yang kesepian? Adakah tempat selain alam yang begitu mendukung penuh hatimu kala semuanya tak sesuai yang diharapkan?
Aku sudah mendapatkan jawaban, sebenarnya. Kadang pikiranku mengulang-ulang tanya. Heran yang sesungguhnya sudah lama selesai. Aku pergi, aku ketakutan. Tapi aku jujur soal ingin menyendiri, karena memang aku butuh sepi agar tak ada yang menghakimi. Tempat yang seharusnya hangat bagiku, aku melepasnya, dan mungkin akan jadi lebih menenangkan kalau aku bersabar sedikit lebih lama—atau sebaliknya. Aku tak tahu. Aku tidak ada ide tentang bagaimana hari mendatang.
Aku patah, sangat, entah bagaimana menyembuhkannya—tidak, aku tahu jawabannya. Kamu adalah penawar sekaligus pemeran atas segala luka yang kurasa. Tapi aku, dengan seluruh keberanianku, pergi dan berkata pada hatiku betapa aku sangat tidak menginginkannya. Aku nekat sendiri, padahal tahu tidak akan bertahan lama karena tak bisa berjarak walau hanya sesenti. Hatiku parah, ia mematenkan kata-kata yang sering kurapal bagai mantra dan menyiksaku hingga seperti ini. Sering kukatakan betapa aku tidak bisa hidup tanpamu, hanya kamu yang kupunya, dan berbagai gombalan lainnya—sialnya hatiku menerjemahkan itu sebagai tulus, dan aku terjebak dalam cedera serius.
Tapi aku,
aku tidak bisa berhenti. Hatiku tak mau berhenti mengakui. Sudah coba kukendalikan, tapi semuanya tetap kembali. Aku lelah, aku ingin dunia mengerti, terkadang, bahwa aku egois dan biarlah aku dengan seluruh egoku. Tapi cinta tidak membiarkan—sekalipun aku menjerit minta pertolongan, hatiku memanggilmu lagi dan lagi. Aku tersiksa. Kamu membuatku menderita, walau aktualnya aku bisa memilih untuk bahagia.
Kemana percaya diri yang selalu kubanggakan dulu, aku tidak tahu. Menghadapimu kini meruntuhkan segala keangkuhanku. Padahal aku tahu hanya diriku yang kamu cinta—tapi kemana keyakinan itu pergi? Matamu berkata sesuai yang kusuka, meski begitu, mengapa lagi-lagi ragu yang kupunya?
Apakah kamu juga menikmati malam dan bertanya-tanya tentang kita—seperti yang aku lakukan sekarang?
-0-
Publish.
Memperbarui tulisan di tumblr saat patah hati seperti rutinitas bagi Dira. Dulu ia sering update, tapi setelah begitu banyak kebahagiaan yang setiap hari ia terima, diari digitalnya disarangi laba-laba. Tapi ia akan kembali lagi, karena luka mengejar, cepat atau lambat, meski tidak diinginkan sama sekali.
Telapak tangannya berpangku di dagu, sikunya ditopang ke besi pagar balkon. Bersama aliran udara malam yang mengibas helai rambutnya, ia hadirkan sendiri keteduhan. Matanya jarang sesembab ini, terakhir saat diinduksi yang rasanya sakit sekali—tapi jelas keduanya hal beda. Yang satu karena ia berjuang membawa kehidupan, yang satunya lagi karena ia dihancurkan kehidupan.
Seperti yang orang bilang, ini bukan hal besar karena baik Rendi maupun orang-orang sudah jelas mengatakan perkara yang sama. Tidak mungkin pria yang ia cintai memilih wanita lain dan beralih darinya. Suatu mustahil yang kalau dipikir-pikir—mengapa tidak? Bukankah tubuhnya tidak seksi lagi? Perutnya dihiasi jahitan yang membekas dan lapisan lemak masih bertengger di sana? Meski ia selamat, bukankah ia telah melahirkan secara tidak normal dan belum cukup mendapat gelar ‘ibu’ sebagaimana yang kemarin digemborkan orang-orang?
Dira tidak tahu, apakah cinta yang membuatnya begitu berani membantah orang-orang, atau memang seperti inilah ia sesungguhnya? Suaminya tidak pernah sangsi, Rendi orang paling utama yang akan membela jika suatu hari ia dipaksa jatuh. Dan Dira sudah lama mengetahui, dan ia sangat meyakini.
Sebuah panggilan masuk dari ponsel yang bergetar. Dira melirik, dibiarkan di tempat. Ia sandarkan punggungnya ke bangku, dibiarkan ponsel bervibrasi di atas outdoor AC yang berada di sampingnya. Hela napasnya berbarengan dengan embus pawana yang coba menentramkan segala gelisahnya.
Ia berkontemplasi. Kira-kira karma apa yang datang sekarang? Apa yang telah dilakukannya dulu? Adakah hati yang ia lukai hingga kini dua orang perempuan sekaligus hendak merebut cinta suaminya? Dan adakah suaminya berharap akan cinta yang baru—yang mungkin saja tidak didapat dari dirinya?
Yang menanggapi seluruh tanya adalah bulir bening yang turun membasahi muka. Seolah masih belum cukup merah mata memenuhi sedihnya.
Sudah tahu sakit, tapi ia malah penasaran. Jika tahu sesuatu yang lain mungkin akan menambah perih, tapi begitulah patah hati. Dira coba mencari informasi di sosial media terkait dua perempuan kembar yang mengganggu rumah tangga. Instagram dan facebook ia jelajahi. Ketika bermasalah, kemampuan stalking entah bagaimana bisa jadi sebegitu hebatnya.
Ia menemukan Sarah, dengan foto profil animasi muslimah yang gamisnya berkibar entah karena apa. Seketika ia jijik. Postingan teratas tentang adab muslimah dalam menuntut ilmu, dan ia mual membaca meski hanya sekilas. Jelas perempuan gila itu tidak beradab. Bicara tak sopan padahal yang disinggung dapat meretakkan hubungan yang sudah lama diperjuangkan. Tertulis disana bagaimana wanita muslimah harus anggun dan berbagai rupa, tapi adakah kelakuannya mencerminkan yang ditulis?!