Cinta tak pernah lengah membuatku jadi begitu naif dan penuh kebodohan. Aku percaya pada setiap kata yang diutara, dan walau pikiranku berjalan, tak pernah aku meragukan—ketidaklogisannya. Harusnya aku tahu tentang tidak percaya pada kalimat-kalimat manis di tengah sukacita, tapi memang dasarnya cintaku tak waras, aku jadi tidak bisa menyalahkan sesiapa.
Atau, aku bisa menyalahkan diriku, tapi tidak mau karena tahu takkan mengubah apa-apa.
“Aku pernah cerita tentang pertama kali kita ketemu, kan, ya? Yang waktu aku terpana sama suara kamu.”
Dari sebagian kisah yang aku lupa, tak pernah hilang dari memori jika itu tentang luka. Tapi yang satu ini, nostalgia kerinduan saat kita berdua tak tahu apa-apa, atau masa depan bagaimana yang menanti di sana, aku selalu mengingatnya. Tak pernah lenyap, bahkan rasa sakitnya juga kembali datang.
“Tidak pernah, lho, aku seperti itu. Di hari pertama kita bertemu, pun, aku belum suka sama kamu, walaupun kamu cantik, aku tidak langsung cinta.”