What's Done can't be Undone

siucchi
Chapter #2

(Bukan) Insecure

Dira mengerang, hentak kaki menendang-nendang dalam bundalan besar perutnya. Terkadang si bayi suka mengagetkan, tidak pandang sedang apa yang dilakukan calon bundanya. Kehamilan delapan bulan membawanya pada aktivitas yang harus selalu penuh perhatian. Contohnya ketika ia menjatuhkan bolpoin maka refleks ia menyahut, “Sayang, sayang, tolong dong.”

Maka si pria bertubuh tegap sontak bergegas. Diletakkannya mouse di pegangan dan beranjak menuju wanita hamil yang menyengir ke arahnya. Ia membungkuk untuk meraih sebuah pulpen di lantai, lalu menyerahkan pada si empunya, “Ini, sayang,” katanya sambil mengecup kening si wanita.

“Makasih, ya, beb. Lumayan tendangannya, bikin kaget!” sahut Dira sumringah.

Langsung meraba perut bulat istrinya, sang suami merendahkan tubuh dan ikut mengecup bundalan besar istrinya. “Alhamdulillah, sehat-sehat, ya, dedeknya.”

Mereka berada di sebuah ruangan berpartisi kaca sebagai dindingnya, dialasi karpet berwarna redup untuk membuat nyaman penghuninya. Di luar ruangan terdapat sejumlah orang yang masing-masing memiliki tugas dengan komputer di hadapannya. Sebuah space yang memenuhi lantai delapan di salah satu gedung tinggi ibukota menjadi kantor tempat mereka bekerja.

Dira dan suaminya, Rendi, adalah perintis bisnis properti yang sudah berdiri sejak lima tahun silam. Setiap perjuangan adalah keringat mereka, dan tak seorangpun boleh mengklaim pengorbanan yang telah mereka lakukan. Perjalanan wirausaha tidak pernah mudah, bahkan hingga kini mereka masih harus bergelut dengan klien rese dan macetnya pembayaran.

Ponsel Rendi berdering untuk keempat kalinya, si pria memutar bola mata. Dira, sebagai partner bisnis dan istri masih sering emosian kalau-kalau yang menelepon adalah si mandor yang rewel masalah pengupahan. “Gimana, sih, dia. Kan udah dibilang dari sananya belum dibayar, mundur minggu depan. Tadi pagi kan udah dijelasin, ini belum sore, lho, udah nelpon lagi.”

Suaminya menghela napas, “Sabar, sayang...” sambil mengangkat kedua tangannya, “aku angkat, nggak, nih?”

“Udah, nggak usah.” jawab Dira ketus.

Menghadapi orang yang meminta haknya tak pernah tak melelahkan. Sebagai pemberi kerja, Rendi dan Dira juga belum dibayar bagiannya. Mereka tak lagi sembarangan memakai uang perusahaan untuk menutup mulut orang-orang yang bawel. Pernah suatu ketika mereka lelah dan mengambil uang dari pos lain, tapi malah menjadi tumpukan utang yang butuh tahunan untuk melunasinya.

Pintu diketuk, setelah disahuti agar masuk saja, seorang lelaki bertubuh tinggi muncul di depan. Ipad di tangannya langsung ditunjukkan ke seisi ruangan, “Alhamdulillah, Pak, Bu, lima puluh persen kastamer sudah DP, kita bisa mulai pembangunan.”

Dira dan Rendi mengucap syukur. Lelaki yang bersama mereka adalah Fatur, orang kepercayaan yang juga asisten Rendi untuk melaksanakan operasional perusahaan. Kabar dari Fatur adalah prioritas utama perhatian yang dibutuhkan sepasang partner bisnis yang juga suami istri itu.

Acapkali terserang sembelit, Dira memutuskan untuk beranjak ke toilet. Ia pergi ke luar kantor dan menuju target lokasi yang terletak di sudut ruang lantai delapan. Setelah mendorong pintu dan bersyukur karena tak mendapai siapapun di dalam, ia langsung melengang masuk dan mengunci diri. Dituntaskannya hajat sambil melihat langit-langit toilet, baru sadar kalau pihak gedung tidak menggunakan lis untuk plafond toiletnya.

Selesai, wanita hamil hendak kembali ke ruangannya sekaligus memberitahu suami bahwa di langit-langit toilet tidak memakai lis plafond—semua yang Dira lihat begitu penting sampai Rendi pun harus tahu juga.

“Hei...”

Dira mengangkat alis, menoleh ke suara berat yang menghentikan langkahnya. Seorang lelaki sebaya memanggil, raut mukanya bingung, “Dira...?”

Mata si wanita mengerjap. Ia tak menyangka akan bertemu kawan lama yang sering ia lihat kabarnya di story instagram kini hadir di hadapan. “Eh, Faruq, kok ada di sini?”

Si lelaki menunjuk sebuah ruang kecil di sudut lain, Dira langsung paham setelah melihat ujung celananya dilipat dan wajahnya basah. “Aku ada meeting di lantai empat tadi, ini baru mau sholat.”

“Oh, ya,” jawabnya mengangguk. Salah satu alasan kenapa Dira pilih sewa kantor di lantai delapan adalah mushola-nya ada di tempat yang sama. “Oke kalau begitu.”

Faruq mengangguk ragu, lalu melanjutkan langkahnya menuju mushola. Dira memalingkan pandang, menuju arah lain agar segera sampai ke ruang kerjanya. Diingat-ingatnya sudah berapa lama tidak bertemu Faruq, terakhir sebelum ia menikah, sekitar enam tahun yang lalu. Pertemanan mereka berakhir sebagai viewer story saja.

“Sayang, kamu dari toilet?” sang suami langsung menyahut kala Dira baru saja memasuki ruangan, “kamu mau makan apa?”

Dira menggumam, bukan karena memikirkan akan makan siang dengan menu apa, tapi karena mereminisensi masa yang tak akan pernah datang. “Makan apa... ya...?”

Rendi sudah hafal dengan respon apa yang akan diberikan sang istri, maka ia langsung menyahut lagi, “Aku beli nasi padang saja, ya? Mau makan di sini atau kita keluar?”

Lihat selengkapnya