Keran air diputar, deras alirannya memenuhi ember bulat besar hingga meluber dalam tempo singkat. Kedua tangannya menurunkan celana dalam, sedikit susah karena besar perut menghambar tiap gerakan. Matanya melongo tatkala melihat sebercak merah kental menempel, dan butuh momen lama sampai akhirnya ia menyadari bahwa flek darah itu sebuah tanda. Padahal Hari Perkiraan Lahir-nya masih satu minggu kedepan.
“Ma, sepertinya aku akan melahirkan.” katanya pelan. Ia sedang menetap sementara di rumah orangtuanya.
Ibunya yang sedang membereskan rak piring di dapur langsung gelagapan. Panik. Ia buru-buru menenangkan Dira—yang sebenarnya tidak berhasil sama sekali—lalu berlari kecil menuju ruang keluarga tempat suaminya berada. Sambil diperintah dari jauh oleh ibunya untuk menyiapkan bekal persalinan, Dira manut lalu masuk ke kamar. Ia raih ponsel di ranjang dan memanggil nomor suami. “Sayang, sepertinya aku akan segera melahirkan.”
Suara diseberang langsung gagap. Rendi kalang kabut. Berkata akan segera pulang dan meminta Dira ikuti semua instruksi Mama. Beruntung kemarin ia sudah pindah ke rumah orangtua, kalau menunggu sampai HPL minggu depan, belum tentu ia akan dirisaukan serupa ini.
Seisi rumah tampak cemas. Ayahnya buru-buru memanaskan mobil dan sudah siap di garasi. Sang ibu masuk ke kamarnya dan langsung menyiapkan isi tas, sementara Dira terduduk di kursi karena seketika merasakan kontraksi. Isi perutnya bergerak, mengeras dan mengendur, seperti ada yang ingin mendobrak di bawah.
“Ma, aku mau buang air besar dulu.” katanya sebelum beranjak.
Si ibu langsung menggeleng cepat, “Tahan, tahaaan! Itu kamu bukan mau buang air, kamu mau melahirkan!”
“Waduh, mules ini, Ma.” perutnya panas. Situasi begini malah diserang sembelit.
“Jangan dulu, sudah cepat ke depan!”
Wanita hamil tua langsung balik kanan. Ia menuju teras dan mendapati ayahnya sudah siap di luar. Sambil ditanya-tanya bagaimana keadaannya, Dira hanya menjawab bahwa ia ingin buang air dan sudah terjadi kontraksi barusan.
Ia mengirim pesan ke suami melalui aplikasi obrolan, berkata agar suaminya langsung saja ke rumah sakit. Rendi tidak membalas chat, melainkan langsung mengisi ponsel Dira dengan panggilan masuk. Lewat intonasi cemas yang semakin kentara, suaminya bertanya ia minta dibawakan apa. Tapi sang istri hanya minta agar Rendi segera ada di sisinya.
Lalu kendaraan beroda empat melaju. Sang ayah sengaja mengebut membelah jalur arteri, sesekali diingatkan untuk waspada oleh ibunya. Setiap guncangan yang terasa membawanya pada erangan keras. Nampaknya kontraksi lagi. Dira melapor setiap keluhan pada orangtuanya dan mereka hanya terus meminta anaknya agar bersabar.
Perjalanan singkat terasa begitu panjang. Mungkin karena ia sudah keringat dingin duluan. Khawatir kalau bayinya lahir di jalan seperti cerita-cerita di media massa. Dira istighfar dan terus berdzikir, sadar nyawanya sedang dipertaruhkan. Meski ia bingung juga akan melahirkan bagaimana? Karena begitu riskan untuk bayi kembar dilahirkan secara normal.
Mencapai lobi, Rendi sudah menunggu di depan, tipe suami sigap walau sedang sibuk akan menyempatkan. Gelagatnya kental mengisyaratkan khawatir berlebihan. Belum juga mobil dihentikan, pintu sudah ditarik—meski tidak akan terbuka sebelum ayahnya menonaktifkan pengaman kunci. Dira langsung dipapah, sekaligus Rendi membawakan beberapa tas besar yang diambil dari jok belakang.
“Sudah aku daftarkan, sayang, kita langsung ke ruangan.” ujar Rendi yang langsung direspon oleh sang ibu, mereka tampak berkoordinasi untuk tindakan selanjutnya.
Sementara Dira masih berkutat pada pergerakan perut yang tak menentu, dan sesekali harus menarik napas pelan-pelan, ia mengikuti apa saja arahan yang ada. Seorang perawat membimbingnya menuju ruang bersalin, kemudian menyuruhnya untuk berbaring di bed dan diperiksa. Dokter obgyn yang bertugas kali ini bukan orang yang biasa memeriksa kandungan Dira sebelumnya, namun menurut informasi yang ia sayup-sayup dengar, Rendi sudah meminta agar dokter langganan lah yang menangani.
Bajunya diangkat naik, perut besarnya dililitkan kain dengan sebuah alat menempel di pusar. Pemeriksaan cardiotocography dilakukan, janinnya diperiksa apakah denyut jantungnya stabil dan bagaimana aktivitas si dua bayi di dalam. Cukup lama si dokter pria terdiam, sampai akhirnya sang ibu yang mencecar dengan pertanyaan.
“Denyut jantungnya lemah, segera siapkan C-Section!”
Dua suster yang berjaga langsung belarian keluar. Meski sudah diberitahu untuk melahirkan sesar sebelumnya, ia tidak menyangka akan diagnosa si dokter. Benarkah denyut jantung bayinya lemah? Kalau begitu ini gawat!
Rendi mengelus dahi istrinya. Wajahnya panik tak terkira. Pikirannya sudah pasti kalut. “Sebentar, sayang, dokternya lagi siapin semuanya. Kamu sabar, ya, bagaimana rasanya sekarang?”
Dira tahu sekali bagaimana degup jantung si suami berdetak dua setengah kali lebih kencang. Suatu kewajaran untuk merasa panik di momen pertama kelahiran.
“Bukannya sudah bukaan itu, dok? Harusnya bisa normal, kan?!” sang ibu terus mencecar, masih terus mengupayakan agar anaknya melahirkan normal meski sejak trimester kedua Dira sudah divonis seksio sesaria.
Dengan tenang sang dokter menanggapi, “Sejak awal Ibu Dira sudah riskan untuk melahirkan bayi kembar secara normal, ditambah denyut jantung bayinya lemah. Sebaiknya segera operasi sekarang.”
Keputusan sudah bulat. Ruang operasi disiapkan. Gawat darurat membawa Dira mendahului pasien-pasien lain. Sembari ibunya mengurus administrasi, bersama Rendi ia menunggu di ruangan. Kedua tangan mereka saling bertautan. Rendi mengepal erat setiap jari-jari Dira sambil sesekali mengecup muka tangan istrinya. Mereka telah berjanji akan selalu bersama, sang suami akan berada di samping Dira saat bayi mereka dilahirkan.
Tidak banyak percakapan. Semua hanya tentang pertanyaan bagaimana kondisi Dira dan apa yang dirasakan perutnya sekarang. Dira menjawab sekenanya. Ia melihat ketakutan di wajah sang suami dan memutuskan untuk membuat senyum. “Tidak apa-apa, sayang, aku akan baik-baik saja.”
Rendi tak pernah menyaksikan kelahiran. Tentu saja. Bahkan ketika ibunya melahirkan adik-adiknya pun ia tidak berani menunggu dari dekat. Tapi bersama Dira, seluruh cemas akan ia lawan. Meski gugup terus menerpa.
Rendi berlari kecil tatkala bed yang dibaringkan Dira didorong cepat oleh seorang suster. Dua perawat lainnya mengawal dan membimbing jalan. Rendi berlari kecil mengekor hingga masuk ke lift. Seorang perawat bertanya apakah suami ikut menemani, Rendi langsung menganggukkan kepala. Dira tidak ingin berhenti tersenyum. Hatinya berbunga. Bukan karena kejang otot yang mengencang dan mengendur di perutnya itu tidak sakit, tapi karena sang suami mencemaskannya begitu rupa seolah hanya ia yang jadi dunianya.
Ah, bagaimana kelak ketika anak mereka lahir? Akankah cintanya sama?
Sampai di runag operasi ia langsung dibantu mengganti pakaian. Daster berikut pakaian dalam ditanggalkan, kain berwarna hijau dibalutkan. Rendi cekatan membantu, dan menurut apa saja yang diminta para suster. Sambil sesekali mengaduh Dira akhirnya dibawa masuk ke ruangan berikutnya.
Deru AC yang memapar seluruh ruang langsung menggetarkan tubuh, menggigil seluruhnya. Para dokter yang bertugas telah lengkap mengenakan pakaian hijau beserta penutup rambut. Ia didudukkan, sebuah cairan diinjeksi ke punggung, Dira sampai tak sadar kalau proses cepat itu telah selesai. Berikutnya ia kembali dibaringkan. Seorang dokter yang baru saja memakai masker menyentil dan sesekali memukul ringan kaki Dira, “Terasa?”
Dira menggeleng, “Tidak, Dok.”
“Sudah bekerja biusnya, ya.” ujar seorang petugas medis lainnya.
Perut dan kakinya mati rasa. Lalu sudut pandang Dira ditutup, ia tak bisa melihat bagian bawah tubuhnya. Rendi terus mengalihkan pandangannya ke istri, berusaha menghibur sambil bergidik ngeri. Aktivitas penyayatan telah dilakukan di bawah sana, Dira tahu karena ekspresi sang suami tak diumpeti sama sekali. Ia tahu suaminya takut dengan apa yang dilihat.
Mengusai cemas, meski mustahil juga—Rendi mengajak istrinya mengobrol. Tentang apa saja; nama anak mereka yang sudah fiks, warna baju yang nanti akan dikenakan, ukuran pampers yang sudah dibawa, hingga fasilitas kamar pasien VIP yang kelak akan mereka tempati setelah ini. Lalu pandangan Dira berbayang. Tampaknya ia mabuk. Suara-suara yang terdengar tampak kabur dan ia tidak lagi mendapatkan jelas. Tidak tahu berapa lama, tapi matanya dapat menangkap sesuatu yang diangkat ke arahnya, ditambah satu lagi oleh dokter lainnya. Apakah itu kedua anaknya?
Ia diyakinkan oleh Rendi yang seketika menitikkan air mata. Kedua dokter mengucapkan selamat, kemudian meletakkan kedua bayinya di atas dada. Masih dengan bercak-bercak merah yang memenuhi tubuh, Dira menopang dua kehidupan di atasnya. Senyumnya melebar, dan air mata menerobos deras. Ia menangis, meski pandangannya samar, tapi hatinya bahagia jelas tak terkira.
“Bagaimana rasanya sekarang, Bu?” tanya seorang dokter.
Dira mengangguk, salah satu tangan menyeka air mata.
“Apa mau muntah?” tanya si dokter lagi.