***
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.
Aku tidak mengerti mengapa jerawat itu kembali muncul di wajahku. Kalian bisa sebebasnya membayangkan visualku di depan cermin sore ini.
Seingatku, aku tidak melanggar larangan makanan dari dokter kulit yang terakhir kali kukunjungi, aku juga tidak ikut-ikutan Fani untuk berlatih menggunakan sembarangan make up di sekretariat. Aku tidak melanggar apapun. Namun mengapa lima jerawat itu muncul memperparah wajahku yang sudah penuh dengan minyak dan keringat?
Di dahi kananku, beberapa noda hitam bekas jerawat kemarin saja belum hilang, namun sekarang aku harus menerima kemunculan dua jerawat batu di dahi kiri yang letaknya berdekatan bersama dengan tiga jerawat di pipi tembamku yang sama sekali tidak semulus orang-orang.
Baru saja bulan lalu bunda membawaku ke dokter kulit karena muak dengan banyaknya jerawat beragam jenis dan ukuran. Dan nampaknya kegiatan itu tidak berguna setelah beberapa hari ini wajahku tidak mengalami kemajuan yang berarti. Hal itu mungkin juga disadari bunda setelah memperhatikan wajahku dengan saksama dari depan pintu.
Aku bisa saja menyombongkan hidung mancung dan bulu mata lentik penghias mataku yang bulat, pipi berisi yang tidak membuatku nampak gendut sama sekali, atau rambut panjang bervolume yang selalu menjadi bahan keirian orang-orang. Tapi itu tidak terjadi karena ada satu hal yang malah membuatku tidak punya kelebihan di wajah dan jatuhnya penampilanku itu malah buruk rupa.
"Jerawat lagi? Aneh! Bunda bilang juga apa? Cuci muka tiap habis ganti jam pelajaran, jangan makan makanan pemicu jerawat, hindari debu dengan pakai masker, pakai salep yang rutin. Kamu sih tidak nurut!" katanya dengan satu tarikan napas setelah berhenti memasang pakaian dinasnya di gantungan pakaian.