***
FISIKA
INTANIA DINA
WISYA QALBU OCTANIA
MUHAMMAD FAIZ AL-JAUHAR
Aku menjerit dalam hati saat melihat namaku termasuk tiga orang terpilih untuk mewakilkan sekolah dalam olimpiade fisika. Setelah itu, mataku jelalatan mencari salah satu nama di barisan anak informatika. Namun nama itu tidak ada. Aku menghela napas kecewa.
Nama yang kucari adalah Abi Bumi Darmadja. Salah satu orang yang menjadi alasan-meski bukan alasan utamaku-berjuang mati-matian untuk berada di barisan anak olimpiade tahun ini. Namun sepertinya Abi tidak tertarik untuk ambil bagian dalam seleksi. Kenapa? Padahal aku begitu menantikan hari dimana kami bertemu saat kumpul pegarahan atau makan siang bersama. Tapi ternyata dalam enam bulan ini aku sama sekali tidak akan pernah bertemu dengannya dalam forum yang sama.
Entahlah apa yang aku inginkan. Tapi aku sangat bahagia ketika aku bisa memperhatikan Abi dari jarak yang lebih dekat. Aku tidak pernah berharap untuk bisa diperhatikan oleh Abi. Aku tahu diri. Aku bukan siapa-siapa. Meskipun sejujurnya di lubuk hatiku aku ingin dilirik Abi sebagai gadis yang patut dipertimbangkan. Dengan wajah yang pas-pasan, tentunya aku tidak akan pernah menarik perhatian Abi sekalipun. Tapi aku yakin Abi akan menghargaiku bila aku memiliki sesuatu yang patut dibanggakan. Seperti yang bunda bilang, "Tidak peduli seburuk apapun wajahmu, yang benar-benar berbicara pada dunia adalah otak dan kemampuan yang kamu miliki." Meski nyatanya di detik berikutnya bunda tetap mengomeliku karena katanya aku kurang pandai merawat wajah sehingga banyak sekali gangguan yang menimpanya.
"Dia enggak tembus olimpiade? Serius?" pertanyaan tidak percaya itu terlontar jelas dari mulutku. "Atau ... dia nggak ikut seleksi?"
Kini aku bingung dengan keputusan yang Abi buat. Padahal dari kemampuan berlogika yang dia miliki, dia begitu berpotensi dalam bidang informatika. Jelas, Abi begitu mencintai dunia komputer dan sejenisnya. Dia bahkan mengikuti ekstrakulikuler Informasi dan Teknologi yang ada di sekolah kami. Meskipun dia tidak dapat dikatakan sebagai orang yang menggerakkan ekstrakurikuler itu, tapi aku tahu betul bahwa dia salah satu bagian penting dari mereka.
Sudah kubilang aku mengagumi Abi, jadi jangan heran jika aku tahu banyak tentang dia yang pastinya tidak tahu aku sama sekali.
Kini aku masih berdiam diri di depan mading, bertanya-tanya apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya selain mempeesiapkan materi untuk olimpiade. Apa aku telepon Abi saja?
Agaknya aku ragu, terakhir kali aku menghubunginya adalah ketika anak sastra dan IT mengadakan kerja sama pembuatan film, waktu itu aku mengirim naskah ke emailnya dan dia memutuskan untuk menghubungiku via whatsapp karena katanya biar lebih mudah. Itu terjadi beberapa bulan lalu dan ketika kami bertemu beberapa kali berikutnya kami hanya tersenyum tanpa sapaan sama sekali. Lalu, apa wajar jika sekarang aku menghubungi Abi hanya untuk bertanya perihal olimpiade yang merupakan urusan pribadi?