***
Kamu tahu apa yang lebih terang dari mentari dan dapat menyilaukan mataku? Kemilau Abi. Abi sungguh membuatku terpikat dengan pesonanya sejak bulan pertama dia menginjakkan kaki di SMA. Abi langsung membuat satu sekolah heboh dengan kemampuannya dalam bidang teknologi bahkan fotografi, Abi yang memenangkan lomba yang diadakan ektrakulikuler mading sekolah dalam membuat poster digital yang kemudian mengantarkannya menjadi pemenang di tingkat provinsi, dan Abi yang selalu dipercaya oleh kepala sekolah untuk menjadi ketua divisi dokumentasi dan publikasi setiap ada acara besar yang nggak main-main.
Namun ada hal ini membuatku agak sulit memahami pola pikirnya, mengapa dengan potensinya di bidan Desain Komunikasi Visual, dia lebih berminat kuliah di jurusan Teknik Informatika. Itu cukup jauh korelasinya meskipun aku tidak ragu akan kemampuannya dalam berlogika. Namun sekali lagi, alasan itu tidak pernah menggeser rasa kagumku pada abi.
Hingga pada akhirnya kekagumanku pada Abi pasti disadarinya. Suatu hari Abi mendapatiku sedang memperhatikannya yang presentasi di depan kelas, menatapnya penuh kagum dengan senyum yang tentunya tidak pernah lepas dari pipiku yang tembam dan berjerawat.
Tidak. Aku dan Abi tidak sekelas.
Waktu itu aku sedang melewati kelasnya, aku sengaja berhenti kemudian menyempatkan diri mengamatinya sampai kelas selesai. Sejak saat itu, Abi selalu tersenyum kecil ketika aku kedapatan menatapnya. Mungkin Abi menertawakan aku yang buruk rupa ini menyukai seorang pangeran sepertinya. Kejadian itu terjadi sebelum kerja sama tim IT dan sastra diadakan. Hingga ketika kerja sama itu diadakan, kuketahui Abi tidak sesombong yang kukira, karena dia masih menghargaiku dengan bagaimana dia menyikapiku setiap harinya.
Suara benturan ban dan lapangan parkir membuatku sadar dari lamunan, aku menatap ban sepeda depanku yang tidak berisi angin. Seingatku, tadi pagi ban sepedaku tidak kenapa-napa, tapi sepertinya hari ini dia berniat cari masalah dan baru kutemukan ketika akan pulang ke rumah.
Kupapah sepeda tanpa menaikinya, ini hanya memperparah keadaan soreku yang tidak baik. Brak! Suara benturan kembali muncul. Aku mengerjap ketika sadar menabrak seseorang yang tengah mengeluarkan sepedanya dari barisan sepeda yang berderet di tempat parkir.
Dia menatapku nyaris marah sebelum aku dahului dengan ringisan dan permintaan maaf. Aku sadar mungkin dia menelan kata-katanya kembali dan mengggantinya dengan pertanyaan basa-basi. "Kenapa nggak menaiki sepedanya, Sya?"
"Bannya bocor enggak tau kenapa. Aku mau ke bengkel depan dulu."
Abi menstandarkan sepedanya kemudian memutar roda depan sepedaku, dia mencabut sesuatu dari sana dan menunjukkan paku empat senti di depanku. "Kamu menginjak paku."
"Kayaknya aku harus ganti dengan roda yang baru. Aku keseringan nambal ban ini. Bosan," gerutuku.
Abi berdiri setelah berjongkok cukup lama, dia ikut memapah sepedanya bersama denganku. Kemudian, dia kembali mengeluarkan suara, "Bukannya kamu harus kumpul sastra dulu?"
"Tadinya gitu, aku mau memarkirkan sepeda di lapangan biar dekat ke sekretariat sastra, tapi kalau kaya gini mungkin aku izin buat nggak kumpul soalnya kalau nanti sore bengkel keburu tutup."
"Kamu pakai sepedaku dulu aja."