What's Wrong with Me?

Andini Lestari
Chapter #5

Tentang aldebaran yang bersinar

***

"SYA!!! Jerawat kamu mucul lagi satu! Kamu makan kacang? Kamu nggak cuci muka sebelum tidur? Salah pake skincare? Lupa pake salep? Atau .... kamu jatuh cinta, Sya?" Tania merecokiku dengan pertanyaan beruntun yang berujung ejekan ketika aku datang. Tentu pertanyaan yang seakan mendeklarasikan jerawatku pada orang-orang itu sedikit membuatku tersinggung, namun itu berlangsung sebentar hingga Sarah muncul.

"Ngomong-ngomong ... hari ini ada bimbingan?" Sarah bertanya padaku, mengalihkan pembicaraan dengan mengamati tumpukan kertas referensi di dekapanku.

Aku mengangguk, Sarah ber-oh ria tanda mengerti kemudian pergi keluar kelas. Ya ... Sarah sesantai itu. Bukan dia tidak masuk seleksi, tapi tanpa harus seleksi aku yakin dia langsung dipilih pihak sekolah untuk mengikuti olimpiade.

Ngomong-ngomong soal referensi, aku jadi teringat Pak Budi menyuruh anak olimpiade fisika untuk mencari buku-buku persiapan yang katanya ada banyak di perpustakaan. Kalau aku datang pagi sepertinya perpustakaan belum dibuka, kalau jam istirahat aku malas, akan lebih baik aku menggunakannya untuk menyegarkan otak, membersihkan wajah, dan makan. Jadi kuputuskan sore harinya akan mampir ke tempat keramat yang biasanya kukunjungi hanya jika guru mengajak belajar di sana.

Harus kuakui, aku memang malas kalau untuk mampir ke perpustakaan. Bukan karena banyaknya tumpukan buku, tapi karena harus buka sepatu. Jujur saja, waktuku untuk memakai sepatu biasanya begitu lama. Bahkan sampai teman-temanku menggerutu karenanya.

***

Awalanya aku lupa untuk datang ke perpustakaan. Beruntungnya aku melihat banyak orang yang keluar dari ruangan itu, hal tersebut menyembabkanku teringat harus mampir ke sana. Setelah membuka sepatu kemudian menyusuri rak-rak buku yang cukup banyak yang menyebabkan kesulitan mencari buku yang Pak Budi maksud, akhirnya kutemukan pula buku yang kucari di rak paling bawah. Tak mau berlama-lama aku segera ke meja komputer, dimana kartu perpustakaanku akan di-scan sebagai absen juga mencatat secara otomatis buku yang kupijam.

"Absen sama catatan pinjam ya, Pak!" kataku sambil menyerahkan kartu perpustakaan yang cukup lusuh bagian laminatingnya. Kulihat Pak Joko yang biasa mengunggu meja itu kali ini menunduk sibuk membaca sebuah buku. Setelah ucapanku itu dia mengangkat kepala. "Loh? Mas pegawai baru? Pak Joko mana?" tanyaku bingung. Orang yang di depanku ini bukan Pak Joko, tapi seorang pemuda berjas kampus warna hijau tua. Dia sedang heran memandangku.

"Mana bukunya, Dek?" tanyanya setelah kartu perpus dikembalikannya usai scan absen.

Kuserahkan dua buku Mekanika ke tangannya, "Atas nama bimbingan ya Mas, jadi tenggang waktunya 6 bulan," kataku ingat pesan Pak Budi bahwa anak bimbingan mendapat kebebasan meminjam buku selama itu tanpa denda.

"Saya tidak setua itu, Dek," balasnya yang kemudian memperhatikan buku yang kupinjam. "Kamu bimbingan fisika?" Aku mengangguk.

"Lalu harus kupanggil apa? Bapak? Eh, bentar, Mas itu siapa sih?"

"Saya alumi sini, Dek, baru saja lulus tahun kemarin. Sekarang saya sedang menunggu untuk dipanggil Pak Budi, saya akan menggantikan beliau untuk hari-hari tertentu. Untuk itu saya menunggu di sini sembari menggantikan Pak Joko yang ada urusan luar."

"Oh ...." Aku paham, kemudian mengangguk. Tunggu, itu berarti?

"Sore ini yang ngebimbing kami itu, Mas?"

"Ya Tuhan, saya enggak setua itu!" Dengan alis mengkerut dia menyerahkan buku mekanika yang kupinjam dengan kesal.

"Eh, Om deh, eh Bapak? Apa ya, enaknya?" Sialnya, pertanyaan bodoh dan ceplas-ceplos itu terlontar jelas dari mulutku yang kuyakin menyebabkannya keki setengah mati.

"Kakak saja apa susahnya?"

"Oh, iya-iya."

Begitulah pertemuan pertamaku ketika bertemu dengan guru pengganti Pak Budi setiap hari Kamis. Yang baru-baru ini aku tahu cowok itu ternyata Kak Aldebaran, alumni terbaik, dan juara dua Olimpiade Fisika tingkat Nasional.

***

Sesuai dengan pesan Abi waktu itu, aku menuju lapangan parkir sepulang sekolah. Siapa tahu saja Abi sudah menunggu di sana. Aku merasa tidak enak karena merepotkannya kemarin, masa sekarang harus membuatnya menunggu juga. Duh, sudah jelek, merepotkan hidup orang lain segala!

Benar saja, ketika aku sampai disana, Abi tengah membuka gembok sepedaku.

"Maaf ya ngerepotin."

Abi menoleh, dia tersenyum seperti biasanya. "Santai aja!"

Lihat selengkapnya