***
Sudah nyaris dua minggu sejak tagedi kantin terjadi. Setelah Tania berbicara dengan Kat dan Ben, pada esoknya, berita di mading lain —selain yang kusobek— dicabut dan diganti dengan berita edukasi. Obrolan orang-orang pun perlahan berhenti meski tidak sedikit yang masih sempat berbisik ketika aku lewat. Aku berusaha untuk tidak peduli.
Aku dan Kak Baran memang tidak ada hubungan apa-apa dan gosipan mereka bukan alasan untuk membuatku kacau tanpa alasan. Maka, sebagai bentuk apresiasiku terhadap hidup, perlawanan terhadap tekanan yang sudah sejak beberapa hari menyerangku, kuputuskan untuk pergi ke toko buku.
Aku ingin melepas penat di akhir pekan untuk melupakan beberapa masalah yang menyerang.
Tanpa berniat membeli buku baru, aku hanya berdiam diri di pojok baca yang ada di toko buku terbesar di kota. Aku sudah meyakinkan diri untuk tidak membeli novel beberapa waktu ini, alasannya adalah aku tidak mau kalau fokusku belajar malah terdistorsi oleh novel-novel remaja yang terpajang menggiurkan di rak kamar. Jadi, kuputuskan untuk membaca di tokonya saja, kalau ada yang menarik, judulnya akan kucatat untuk kubeli lain kali. Mungkin itu taktik yang bagus agar aku belajar lebih giat lagi.
Novel di rak tahap kedelapan menarik perhatianku, kudongakkan kepala sembari berjinjit, mengambil salah satunya. Namun tiba-tiba novel berwarna merah jambu di sampingnya ikut terjatuh, diikuti beberapa novel lain yang menyebabkan kegaduhan. Aduh, bodoh! Makiku dalam hati saat melihat beberapa orang memperhatikan gelagatku. Secara terburu-buru aku membereskannya.
Setelah selesai, aku memilih mencari tempat duduk yang memiliki posisi enak. Tidak jauh dari tempatku berdiri ada satu kursi kosong di antara dua rak buku yang saling berdampingan. Dengan tergesa aku berjalan menghampirinya, tetapi ternyata ada seseorang yang mendahuluiku, padahal tinggal beberapa langkah lagi!
Langkahku berhenti, sontak wajahku menampilkan ekspresi kecewa. Seseorang dengan sepatu kets hitam, serta celana dan jaket jeans hitam yang melapisi kaos abu-abu itu mendongak, mungkin dia juga curiga dengan kejadian barusan. Di tangan kanannya sebuah buku sains digenggam dengan jari telunjuk terselip di antara halaman—mungkin untuk menandai bacaan. Dia membuka mulut nyaris bersuara, tapi ternyata mulutnya menutup kembali. Dia berdiri dan mempersilahkan aku duduk di tempat yang awalnya dia tempati. “Saya bisa duduk di tempat lain,” katanya.
Aku mengangguk kemudian duduk di sana. Sedangkan cowok itu berjalan beberapa langkah dan duduk di tempat yang cukup jauh dari tempatku. Tapi aku masih bisa melihatnya dari sini karena tidak terhalang rak buku. Dia duduk menghadapku.
Beberapa menit membaca aku mengangkat kepala. Dia masih ada di sana dengan alis yang sesekali memaut. Nampaknya dia konsentrasi sekali. Dari caranya duduk, sepertinya dia nyaman bersama buku berlama-lama. Sayangnya aku tidak sama. Karena ada dia, kupikir aku tidak dapat melanjutkan membaca.
“Dia kaku begitu. Aku yakin dia risih dengan berita yang tersebar,” gumamku yang tidak henti melihatnya. Kini posisi duduknya sudah berubah, dia menyamping, tidak lagi berhadapan denganku.
Setelah mempertimbangkan beberapa lama, lebih baik aku pulang. Tidak ada gunanya aku disini. Nyatanya aku hanya duduk melamun dan menggumam.
Kusimpan buku yang kugenggam ketempat asalnya. Kemudian memutar badan kesamping. Bruk! Kini yang bersuara itu bukan buku. Namun aku—lebih tepatnya dahiku—yang menabrak sesuatu. Setelah sedikit memukul-mukul kepalaku agar tidak pusing, aku mendongak kala mengenali sepatu yang orang di depanku pakai. Sepatu kets hitam.
“Kamu mau pulang?” yang bertanya barusan adalah orang yang sejak tadi aku perhatikan. Kak Baran.
Aku mengangguk. Entah seperti apa aku harus bersikap.