What's Wrong with Me?

Andini Lestari
Chapter #8

Kemilau Seorang Aldebaran

***

“Tania! Buruan dong. Sebel aku kalau kita harus baris di belakang lagi!” Hani sibuk mengoceh dan menggerutu saat Tania mengubek-ubek tas, mencari topi. Aku memperhatikannya dengan saksama. Ribet sekali menjadi Tania yang malah mengeluarkan banyak make-up dari tasnya.

“Pura-pura sakit aja sana!” saran Hani yang membuat Tania menepuk topi abi miliknya hingga topi itu terjatuh. Hani kembali menggerutu.

“Beli aja di kantin!” tukas Sarah. Ucapannya cukup masuk akal meskipun mungkin Tania harus rela kehilangan uang senilai dua porsi baso delapan ribuan.

“Kalau bawa uang lebih sih kayanya iya. Masalahnya dompet aja kayanya ketinggalan deh.”

Kepada seluruh siswa dan siswi yang masih ada di dalam kelas, harap segera berbaris di lapangan sekarang juga. Sekali lagi, kepada siswa dan siswi yang masih di dalam kelas, harap segera berbaris di lapangan sekarang juga.”

“Tuh ‘kan, kalau kita di belakang kita gak bakal bisa lihat Kak Yuda jadi pemimpin upacara di upacara terakhir kelas dua belas! Belum lagi kita pasti kena hukum.”

Hani memang aneh, padahal jelas jelas dia sudah menjadi pacar Rudi, tapi setiap lelaki bening dikit, pasti dia berteriak seakan tergila-gila padanya.

“Aduh, pake uangku aja dulu nih, repot amat!” Sarah kini bersuara setelah sibuk menyaksikan drama berebihan yang dibawakan Hani.

Hani pun berteriak dengan lantang, “Nah! Gitu dong dari tadi!”

***

Drama topi ternyata tidak berakhir di sana. Tiba-tiba ketika kami berlari ke kantin, Ali muncul dengan sok jagoannya menghentikan kami. Dia mengasongkan topi dan dompet kepada Tania sembali berkata, “Lain kali jangan ketinggalan mulu. Untung mamahmu nelpon aku.”

Kami semua terdiam, sampai harus dipanggil berulang-ulang oleh pengurus OSIS yang berpatroli.

Mengingat hal itu, aku jadi terbesit untuk iri dengan Tania yang bisa mendapatkan lelaki sepeduli Ali. Meski cowok itu tidak tampan, bahkan lebih terlihat kurang berisi dan tinggi, tapi cowok itu mengerti Tania lebih daripada Tania sendiri. Namun aku sadar, aku tidak mungkin mendapatkan lelaki seperti itu, aku dan Tania jauh berbeda. Meski Tania tidak terlalu cantik atau punya tubuh menarik seperti Amel, tetap saja dia adalah perempuan yang ideal untuk jadi pilihan dengan pengetahuannya yang luas mengenai pergaulan.

Lagi, aku merasa bukan apa-apa di sini.

Belum selesai melamun, aku mendengar Pak Gunawan, pembina upacara hari ini, mengatakan bahwa calon peserta olimpiade tidak perlu lagi mengikuti upacara karena harus berlatih intensif di jam ke nol. Menurut beberapa dari kami, ini bukan pilihan yang membingungkan, tentu ini adalah keputusan menyenangkan. Lain halnya dengan siswa-siswi lain yang seringnya bilang, “Mending upacara seharian deh daripada harus sibuk belajar!”

Karena pengumuman dari Pak Gunawan itulah kami sudah diarahkan untuk belajar di ruang rapat sekolah. Kami dibagi beberapa kelompok sesuai dengan bidang masing-masing dan mendapat arahan dari pembimbing. Aku beserta dua rekan olimpiadeku, Faiz dan Intan, mendapat arahan dari Pak Budi selaku guru senior fisika sekolah.

***

Faiz mengacak rambutnya gemas, Intan menggigiti ujung pulpen sambil melamun, sementara aku mengedarkan pandangan pada anak olimpiade yang lain. Mereka sama mengenaskannya seperti kami. Guru pembimbing pergi mengikuti upacara setelah mengarahkan kami untuk mempelajari soal beberapa tahun yang lalu.

“Duh, kita kepalang bego. Kayanya sekolah salah pilih aku sebagai perwakilan deh.” Keluhan itu keluar dari mulut Faiz dengan percuma, di tempat duduknya dia sudah gusar. “Aku ke toilet deh,” tukasnya kemudian beranjak.

Lihat selengkapnya