***
Pukul delapan malam aku berada di depan laptop yang terbuka. Ponsel yang sedang di-charger teronggok di samping kananku. Baru saja anak sastra di grup whatsapp menyetujui untuk membantu ekstrakurikuler IT. Hasilnya kami menentukan naskah film seperti apa yang akan kami buat. Abi belum aku kabari, aku merasa malas untuk menghubunginya. Mungkin Qanita sudah memberitahu Abi bahwa kami setuju, secara mereka adalah teman sekelas.
Tunggu, kalau memang begitu, kenapa Abi malah menemuiku tadi? Bukannya lebih mudah kalau Abi meminta tolong pada Qanita? Aku mulai menduga-duga hal yang lagi-lagi membuatku kepedean. Tapi mungkin karena rapat mendadak dan dia tidak bertemu dengan Qanita, Abi memutuskan untuk menemuiku yang kebetulan sedang ada di lapangan sekolah.
Setelah memasang krim malam di wajah dan mengikat cepol rambut kriting panjangku, aku membuka buku persiapan olimpiade. Aku belum ada ide untuk lanjut menulis naskah film, jadi ada baiknya aku berlatih soal terlebih dahulu. Toh yang bertanggung jawab terhadap naskah itu tidak hanya aku, sedangkan olimpiade itu tanggung jawab penuh diriku.
Baru saja aku membuka halaman buku olimpiade yang kupinjam dari perpustakaan, sesekali aku membuka video mekanika dari youtube yang ada pada laptop. Mendadak sebuah panggilan video whatsapp masuk ke laptop itu. Tertera nama Abi di sana. Mungkin dia akan menanyakan keputusan anak sastra padaku.
Tapi, kenapa panggilan video?
“Sya, aku ganggu kamu?” tanyanya setelah muncul wajah itu di layar. Aku segera mengalihkan kamera laptop ke arah dinding. Dia tidak boleh melihat wajah kucelku sebelum tidur.
“Nggak kok Bi, mau tanya keputusan anak sastra, ya? Kami mau bantu kok Bi—“
“Kamu terganggu ya, Sya?”
“Hah?”
Kudengar Abi terkekeh, “Kamu mengalihkan kameranya.”
Setelah terdiam beberapa detik, aku mulai menggeser kamera itu menghadap ke wajahku. Terpampang jelas di sana wajahku lepek penuh dengan kilau krim malam yang baru saja dipasang. “Nggak kok,” ujarku tidak enak.