***
Aku, Intan, Faiz, dan Kak Baran berencana untuk bertemu di sekolah pada pukul satu siang. Untuk itu sekarang aku duduk di kursi taman karena tiga orang yang lain belum menampakkan batang hidung sama sekali. Meskipun sekolah libur, ada beberapa ekstrakurikuler yang tidak meliburkan diri, contohnya teater Tosa, basket, dan juga beberapa ekstrakurikuler lainnya.
Kaki berbalut sneakers milikku mengetuk paping blok pelan. Sesekali kuedarkan mata ke lapangan atau ke pintu gerbang ketika terdengar ada yang menggesernya. Lima belas menit aku menunggu, barulah Kak Baran muncul. Dengan tergesa-gesa dia menghampiriku.
“Terima kasih bersedia menunggu, barusan saya ada masalah dengan ban motor,” dia berucap dengan napas tersengal-senggal. “Jadi sekarang kita mau belajar dimana?”
“Sebenarnya, Faiz dan Intan belum datang.” Aku meringis, ada sedikit rasa malu karena kami nampak seperti tidak niat dalam melakukan persiapan.
“Oh, mereka? Kita tunggu saja sambil memulai, bagaimana?”
“Kita di sini saja ya, Kak. Biar kalau Faiz dan Intan datang mereka tidak mencari dengan kelabakan.”
Kak Baran mengangguk, “Boleh.”
Setelah duduk di sampingku, Kak Baran mulai membuka buku pribadinya. Tanpa menghiraukan keberadaanku, dia mulai membaca. Katanya aku tinggal mengerjakan beberapa soal, apabila ada yang kurang paham, aku bisa bertanya padanya. Lalu apa bedanya ini dengan belajar di rumah, toh aku bisa menghubunginya untuk bertanya secara pribadi bukan?
Setelah beberapa saat kami sibuk sendiri, aku bertanya padanya beberapa langkah penyelesaian—karena aku ingin keberadaanya di sini berguna dan termanfaatkan dengan baik. Sampai tidak kami sadari waktu menunjukkan puluk empat sore, kami baru menyadari bahwa Intan dan Faiz sama sekali belum datang. Setelah solat asar pun, kami tidak menemukan mereka di area sekolah.
“Coba kamu buka ponsel,” saran Kak Baran ketika dia mengenakan sepatunya di depan masjid. Aku segera mengeceknya dan benar saja ada beberapa pesan yang kuterima. Dua di antaranya adalah pesan dari Faiz dan Intan berturut-turut.
Faiz :
[Sya, maaf seribu maaf. Nenekku masuk rumah sakit pagi ini. Kami satu keluarga panik dan nggak mungkin aku untuk meninggalkan mereka di keadaan begini. Biar nanti kutanya padamu saja ya materi apa saja yang aku tinggal. Terima kasih Sya!]
Intan :
[Sya, aku demam, maaf aku tidak bisa bimbingan bersama kalian. SEMANGAT!]
Dua pesan pribadi itu aku perlihatkan pada Kak Baran yang baru saja merapikan ranselnya. Beberapa saat, dia mengernyit bingung.
“Saya hanya bimbing kamu saja nih? Aduh niat tidak sih mereka ini?” katanya, entah dia bercanda atau mungkin benar-benar menyindir mereka.
“Setiap orang punya prioritas masing-masing, ‘kan?” kataku berkomentar tidak setuju dengan pendapatnya.
Kak Baran memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, dia menarik napas panjang dan membuangnya kasar. “Kamu harus mengorbankan hal kecil untuk mendapatkan sesuatu yang besar, apa saya sudah pernah bilang?”
Setelah mengingat-ngingat beberapa saat aku sedikit teringat. “Pernah, tapi Kakak juga bilang bahwa kami tidak seharusnya kehilangan orang-orang sekitar karena ambisi yang kita punya. Dan menurut saya keluarga adalah prioritas pertama. Begitu pun dengan kesehatan.”
Selama beberapa saat, aku tidak mendengar balasan kalimat darinya. Yang dapat kulihat ketika mendongak ke kanan hanyalah senyumnya yang begitu tipis. Tanpa menghiraukanku sama sekali yang tiba-tiba tersihir apa untuk menatapnya, dia melenggang pergi.
“Tunggu Kak!”
Kak Baran menghentikan langkahnya, dia menatapku seakan bertanya.
“Anu, besok kakak punya jadwal? Bisa bimbing aku, lagi?”
Sempurna berbalik, tampak wajahnya tengah menimang-nimang permintaanku. Jangan kira ini modus, aku hanya berusaha agar aku maksimal dalam olimpiade ini.
“Pukul berapa?”
“Sebisanya Kakak.”
“Saya mungkin bisa pukul satu.”
Sontak dengan semangat aku menggeleng, “Tidak apa-apa, yang penting saya punya ilmu baru!”
“Memangnya ada yang belum saya ajarkan, ya?”
“Trigonometri, limit, turunan, dan integral, hemm dasarnya sudah semua sih, hanya saja kadang saya tidak tahu kapan semua ini harus dipakai ketika menjawab soal.”