***
Kak Baran :
[Wisya, saya ada di sekolah sampai nanti sore, kalau kamu mau tanya mengenai fisika yang waktu minggu, bisa temui saya di perpustakaan.]
“Kak Baran?”
Di sampingku, Hani melongokkan kepalanya untuk melihat layar ponsel. Mungkin, dia sadar tidak biasanya aku membuka ponsel di jam makan siang. Hani tahu kebiasaanku sehingga dengan pemikiran yang seperti itu, dia dengan mudah menebaknya.
Hingga hari ini—Rabu—aku belum menceritakan perihal janji yang tidak tidak terlaksana tempo hari. Aku pikir, mereka tidak usah tahu karena itu urusan olimpiade, bukan urusan pribadi seperti kencan atau sejenisnya.
Di hadapanku, Sarah ikut penasaran. Lain halnya dengan Tania yang berubah gelisah.
“Kayanya kamu harus jaga jarak sama dia, Sya.”
Mendengar penuturan Tania yang tiba-tiba itu aku termangu, heran.
Seakan diminta penjelasan, Tania balas menatap kami bertiga dengan mata memohon untuk percaya, “Ya, perasaanku nggak enak aja.”
“Begini loh Tan, ini itu urusan bimbingan, jadi nggak ada alasan untuk aku menjauh darinya.”
“Terserah sih,” Tania sedikit meringis ketika lidahnya tergigit. “Aku cuma punya firasat nggak baik. Terserah kamu mau nurut atau enggak.”
“Kupikir ada baiknya kami mendukungmu untuk dekat dengan dia, siapa tahu terjadi reaksi. Tapi kupikir, cowok juga harus pilih-pilih, Sya. Kamu itu anak yang belum tahu masalah percintaan selain mengagumi Abi, takutnya kenapa-napa.” Sarah berusaha meluruskan, aku sih paham. Meski aku tidak paham mengapa kemarin-kemarin mereka masih sempat meledek dan sekarang mati-matian melarang.
“Sebentar, aku salah fokus sama reaksi yang kamu ucap barusan!” Hani berteriak dengan lantang.
“Reaksi itu terjadi apabila ‘terjadi pemutusan ikatan lama dan pembentukan ikatan baru’. Jadi biar hati Wisya tidak selalu terikat sama Abi yang nggak jelas kabarnya itu.”
Mendengar itu hani tergelak luar biasa.
“Auramu terlalu indah, Sya. Mungkin dia hanya tertarik, tapi tidak untuk jatuh cinta. Jangan sampai kamu jatuh sama dia. Jatuh cinta itu emang hak tiap orang meski nggak dicantumkan dalam UU tentang HAM. Tapi karena nggak diatur dalam UU, maka kita harus bisa jaga diri. Ketika jatuh cinta kemudian patah hati, kamu nggak bisa buat laporan ke KOMNAS HAM, padahal orang itu udah berhasil bikin kamu patah hati, tak bersemangat, bahkan depresi."
Tunggu, aku sedikit tidak setuju dengan apa yang Tania ucapkan, aura katanya? Aura semacam apa yang aku punya? Yang aku tahu tatapan mengerikan seringnya terlempar dan kutangkap tanpa sengaja dari mata orang-orang karena parasku tidak secantik dan sebersih gadis kebanyakan.
“Dengar! Aku tahu, nggak baik dengan Kak Baran, dari sosial dan kesehatan juga berbahaya. Hanya saja mau tidak mau aku harus berevolusi sama dia, paling tidak sampai olimpiade berlangsung. Oke, aku kayak memanfaatkan, tapi mau bagaimana lagi? Dia satu-satunya orang yang paling pandai di antara semua yang aku kenal. Dan kupikir, tidak akan semudah itu untuk aku melupakan Abi dan beralih padanya, ‘kan? Tenang! Kak Baran bukan siapa-siapa.”
Aku benar kan? Aku yakin ini bukan usahaku dalam membohongi diri sendiri.