***
“Selamat pagi, Sya!”
Sontak aku yang sedang jongkok sambil menggembok sepeda memalingkan muka pada sumber suara. Abi muncul sembari mengayuh sepeda dan memarkirkannya di sampingku. Setelah itu dia mengunci gembok sepedanya. Semua terasa singkat kala aku sadar bahwa aku masih di posisi yang sama dengan saat dia datang.
“Eh, pagi Bi!” sapaku balik sembari berdiri dan mengekorinya di belakang.
“Lah, kamu kayak kacung aja jalannya di belakang,” katanya sebari terkekeh.
Aku yang gugup berlari ke sampingnya. “Maaf naskah belum selesai.”
Dia tersenyum lebar. “Ah, santai aja, lagian kalian masih punya deadline waktu semingguan lagi.” Sekonyong-konyong Abi menoleh. “Kamu sudah sarapan, Sya?”
“Hah?”
“Aku belum sarapan, ini pertama kalinya aku berangkat begitu pagi. Mau ikut sarapan di kantin?”
Seketika aku menuduk, poni rambut keriting yang kusurai ke samping terurai menghalangi wajahku. “Nggak usah, aku udah sarapan di rumah.”
Setelah mengangguk tanda mengerti, dia membuka jaket dan menyampirkannya di tali ransel. “Ya sudah, aku ke kantin dulu,” katanya sembari berjalan ke arah berlawanan denganku.
Aku yakin Abi tidak melihatku menganguk, karena sebelum itu terjadi, dia berlari menuju kantin tanpa berbalik kembali.
Sambil melangkah dengan pelan menuju kelas. Beberapa orang nampak ramai di koridor. Sesaat mereka menatapku, kemudian ketika aku menangkap basah mereka, mereka menunduk atau berpura-pura mengobrol dengan temannya tidak peduli.
“Wisya!” Hani yang biasanya datang cukup siang mengejarku dari belakang. Setelah menghentikan langkah, aku menunggunya yang berusaha berjalan sejajar.
“Kamu udah lihat artikel di mading?”
Dalam sekejap aku mengeryit bingung, “Ini Jumat, biasanya artikel mading itu kan Senin?”
Sambil menggeleng dan dengan napas yang sama sekali belum teratur Hani berucap kembali, “Nggak tahu, si Kat sama Ben nampaknya kebelet banget menggosip nggak kapok-kapok.”
“Emang artikel apa?”
“Hah? Eh!” Secara mendadak Hani nampak menyesal memulai pembicaraan dengan topik seperti itu. “Nggak ada PR ‘kan, hari ini?”
“Kamu mengalihkan obrolan begitu aku lebih curiga loh.”
“Nggak penting sih, bukan tentang kamu ini."
Namun, sebagaimana pandainya Hani menutupi, ketika sampai di kelas aku tahu bahwa berita yang menyebar memang bukan tentangku, tapi tetap saja menggores perasaanku ketika mendengar beberapa teman kelas memperbincangkan artikel terbaru.
“Sekarang aku tahu kenapa kamu bilang untuk jaga jarak sama kak Baran waktu itu.” Sarah menatap Tania dengan wajah meminta penjelasan.
“Awalnya aku nggak mau bilang, tapi mau gimana lagi?” Tania memulai sembari mengeluarkan beberapa buku tulis dan memindahkannya ke laci meja. “Aku terlanjur mengamati semuanya.”
“Ceritakan semuanya!” titahku cepat ketika nada bicara Tania yang seperti akan menggantung cerita.
Helaan napas begitu panjang Tania mengawali sarapan gosip pagi ini, wajahnya meluluh. “Pas pagi aku disana nggak ada yang aneh. Kami persiapan seperti biasanya. Namun sebelum tampil karena kita kebagian agak sorean, cowok itu entah disuruh siapa masuk ke backstage dan menemui cewek itu, si field comander. Ngasih minuman isotonik sambil ya ... kalian tahu ‘kan cowok PDKT gimana? Terus, si ceweknya pegang tangan si cowok tuh sebelum pergi. Aku nggak tahu mereka ngobrolin apa tapi kayanya si cowok ditahan buat nggak balik. Itu sekitar setengah dua belas siang ya, pas sekolah kita mau tampil.”
“Itu aja? Tapi kenapa di mading artikelnya heboh banget?” tanya Hani heran.
“Nggak. Sekitar pukul satu kali ya, sekolah kita yang tampil terakhir berhasil menutup penampilan dengan sangat baik. Terus si cewek nemuin tuh si cowok di tribun, nggak tahu kejadiannya apa sampai pas pengumuman di jam tiga sore, mereka pelukan erat dan izin pulang duluan.”
Seketika itu aku diam. Aku mulai sadar bahwa aku sama sekali bukan hal penting bagi Kak Baran. Bahkan prioritas membimbingku ada di bawah prioritas menemani perempuan itu berlomba.
Lagi-lagi Hani bertanya penasaran. “Kok bisa tahu sih, Tan? Niat amat buntutin mereka?”
“Ya iyalah, dari awal aku udah curiga tuh sama gelagat si mahasyiwa itu!”
Kali ini rasa heran beralih pada Sarah, “Bentar-bentar, emang isi artikelnya apa sih?” Hani membuka ponsel dan menunjukkannya pada Sarah, “Marching band juara, mungkinkah ini kekuatan cinta—what? Ini Kat sama Ben nggak ada kapok-kapoknya bikin gosip ya? Judulnya kaya FTV sumpah!”
“Tapi kalian inget ‘kan waktu aku digosipkan padahal itu nggak bener, bisa aja ini kasus yang sama? Mereka juga pernah bilang gosip ini cuma program kerja,” tukasku tidak terima karena secara tidak langsung Kak Baran dipojokkan begitu aja.
“Sebenernya aku heran kenapa gosip masuk ke program kerja ekstrakurikuler jurnalistik. Apa pembina mereka mendukung wadah informasi menjadi lambe turah?” kali ini Hani mendengus.