***
Melakukan suatu kebiasaan kuyakini tidak selamanya sukses dan berjalan sama. Ada kalanya hal-hal mengganggu datang atau justru yang paling dihindarkan menghampiri seakan bilang jangan menghindar. Bagiku, kesuksesan menghindar ini memang pasti tidak akan selamanya tercapai, tetapi yang tidak kuduga adalah hari tidak tepat itu terjadi sekarang.
Bukan Kamis sore ketika akan pulang, mungkin alasan "takut pulang kesorean" akan terdengar masuk akal. Ini Rabu siang, ketika sekolah tiba-tiba membubarkan kelas karena ada rapat guru dadakan, ketika aku sedang berkeliaran di perpustakaan dengan terpaksa karena mencari bahan materi pekerjaan rumah, ketika aku sedang mencari ketenangan, dan ketika dia datang.
Memang terdengar aneh aku berada di perpustakaan, perlu diketahui seharusnya aku di sekretariat sastra. Aku memang diberhentikan untuk menulis naskah, tapi tidak dikeluarkan dari intrakurikuler literasi itu. Sayangnya, karena anak-anak sedang diskusi naskah dengan anak IT dan pastinya mereka akan berisik serta ricuh, aku lebih memilih mengasingkan diri. Berakhirlah aku di sini, karena sekolah tidak mengijinkan siswa-siswinya untuk keluar dari area sekolah lebih awal.
Awalnya kupikir pengasingan ini membuatku dapat menghindari rasa sakit hati yang muncul kembali, tapi ternyata tempat ini malah memberi rasa sakit yang baru.
Aku melihat Kak Baran. Dia kembali pada rutinitasnya yang dulu mungkin lebih sering dia lakukan sebelum mengenalku. Menunggu perpustakaan. Kadang aku merasa heran dengan waktu senggang yang dia punya. Apa dia tidak aktif di kegiatan mahasiswa?
"Yey, Kak Baran gitu deh," ucapan malu-malu itu disusul tawa renyah dari dua orang yang sedang berinteraksi di sana. Kebisingan yang lebih ingin kumaki dibandingkan kebisingan diskusi. Jika tahu begini seharusnya aku mengerjakan tugas di sekretariat sastra saja!
"Nah, memang bagusnya kamu senyum begitu. Jangan cemberut terus."
Kuperhatikan interaksi Kak Baran dengan gadis yang kuketahui bernama Tiwi. Mereka berhenti tertawa ketika mata mereka menangkapku tengah menatap keduanya. Kak Baran membeku, raut wajah di gadis itu menggambarkan bahwa suasana hatinya telah berubah. Apa aku semenyeramkan itu untuk menghacurkan kebahagiaan orang lain?
Kak Baran berdiri, tentunya berjalan mendekat ke arahku. Semakin kulihat kebencian itu terpancar jelas dari mata gadis yang kupikir salah satu kandidat mojang sekolah itu. Entah kebencian dia padaku, pada kehadiranku, dimensi yang memaksa kami berinteraksi dalam satu waktu, atau duniaku yang ternyata tertulis untuk mengganggu jam bercandanya dengan kak Baran di perpustakaan sekolah. Aku sama sekali tidak tahu karena yang aku tahu hanya satu, sekarang Kak Baran ada di sampingku.
"Kamu belajar, Sya? Kenapa tidak memanggil saya?"
Aku merapikan buku yang berserakan. Tiba-tiba mood untuk mengerjakan tugas hilang begitu saja. "Bukan, ini tugas kelas."
"Kalau ada hal sulit untuk persiapan olimpiade bilang saja, Sya," bisiknya yang kemudian kembali ke belakang meja perpustakaan khusus anak pustakawan.
Aku menutup mataku, menggeleng dengan pelan. Tidak. Mana mungkin aku mengatakan bahwa akhir-akhir ini aku tengan tidak fokus dengan semua hal berbau olimpiade. Bahkan, kurasa semua persiapan yang telah kulakukan beberapa waktu lalu menguap entah kemana. Aku kehilangan minat belajar untuk melakukan persiapan. Hal yang ada di otakku adalah Abi dan Kak Baran yang bergantian tanpa henti setiap waktu.
Duh, teringat Abi aku jadi ingat bahwa aku sama sekali belum melanjutkan perbincangan kami yang terpotong sore itu. Mau bagaimana pun Abi pasti penasaran dengan apa yang akan aku utarakan.
Sudahlah Sya, berhenti memikirkan mereka!
"Oh ya karena Kakak bilang mau datang kesini, aku buatin nastar buat Kakak!" suara lembut namun serak-serak basah itu kembali mampir ke gendang telingaku yang kuyakin masih baik-baik saja. Kak Baran sama sekali tidak bilang akan datang ke sekolah, tapi mengapa gadis itu dikabarinya. Fakta itu semakin meyakinkanku bahwa aku hanyalah orang ketiga di antara mereka.
Tunggu, mengapa orang ketiga? Jelas-jelas Kak Baran sama sekali tidak memberikan harapan padaku. Aku saja yang kegeeran.
Ah sial! Semua pemikiran itu membuatku menutup buku dengan sedikit menyentak. Tak lupa aku bergegas meninggalkan perpustakaan karena udara di sana seperti di neraka. Panas luar biasa. Apa ini yang dinamakan cemburu?
Tidak. Tidak. Tidak.