***
“Eh, Sya! Serius kemarin Abi pulang hujan-hujanan demi kamu?” Sebegitu penasarannya Tania ketika mendengar Hani tanpa sengaja keceplosan menceritakan ulang tentang Abi yang aku ceritakan semalam padanya. Buku yang baru saja dia tutup segera dia masukkan ke dalam tas. Kemudian dia mengeluarkan bedak dan liptint pink dari salah satu saku tas. Dengan kecepatan kilat dia memakai peralatan itu sembari teriak meminta ditunggu pada Sarah yang sudah menunggu di depan pintu.
“Nggak bisa dibilang demi aku sih, siapa tahu dia punya alasan pasti untuk melakukan itu, ingin hujan-hujanan mungkin?”
“Ah, sudah jelaskan Abi tertarik sama kamu Sya, jangan menyangkal! Bagaimanapun pergerakan Abi mendekatimu lebih bagus daripada si jenius fisika itu.” Hani mengkompori kami untuk lagi-lagi bergosip. Langkahnya dibuat mengayun.
Aku hanya bisa berdecak sembari mengeluarkan jinjingan dari dalam laci meja kemudian menyusul ketiganya yang sudah di ambang pintu. Melihatku berbelok ke arah yang berbeda dengan mereka, Sarah bersuara, “Lah, mau kemana kamu, Sya?”
“Balikin jaket ke Abi lah!”
“Rajin amat dibalikin, udah dicuci belum tuh?” Tania berteriak sejurus kemudian tawa ketiganya meledak.
“Udah dong!” Aku menatap Tania sombong kemudian berbalik dan ternyata malah menabrak sesuatu. Lagi-lagi dada Abi.
“Kemana?”
Sebuah tas jinjing aku dorong ke depannya. “Ini, jaketmu!”
“Hari ini kamu bawa jaket?” Gelengan yang kuberikan malah membuat Abi berdecak. “Pakai sama kamu dulu aja.”
“Sekarang itu nggak hujan!”
“Nanti sore tidak tahu, Sya.”
“Kamu pulang gimana?”
“Nggak gimana-gimana, aku pulang sekarang dan cuaca masih cerah.”
“Ya sudah, aku juga pulang sekarang, sekalian bareng kamu ke parkiran. Ini jaketmu, aku tidak mau kamu hujan-hujanan lagi.” Aku menyerahkan jinjingan itu pada kedua tangan Abi. Sejenak dia terdiam ketika kalimatku baru saja terlontar.
“Ini Kamis, Sya.”