***
Aku baru menyadarinya. Sejak beberapa kali aku menyukai seseorang termasuk Abi, aku tidak pernah merasakan keramaian di lubuk hatiku seperti sekarang.
Mungkin mengenal Kak Baran adalah aliran dari takdirku yang tidak dapat kuubah. Jadi akan lebih baik aku menerimanya dibandingkan harus merutuk dan mengutuk mengapa dia selalu mendadak hadir di pikiranku atau tiba-tiba muncul di mimpiku. Yang pasti aku tidak mau lagi ambil pusing mengenai semua yang terjadi antara kami.
Karena hal itu, aku berani mengganti kata ganti 'saya' menjadi aku meski dia tidak melakukan hal yang sama.
Bahkan, aku mulai menerima jika dia mendadak mengajakku pergi di hari libur seperti hari-hari sebelumnya. Dia berani datang ke rumahku. Mengobrol dengan bunda dan membuat alasan akan melakukan bimbingan fisika.
Karena seringnya kami pergi bersama, anak sastra sering menyindirku dengan kalimat, 'Pergi sana ke gramed cari novel baru. Minta anter sama gobeb-mu!'
Anak sastra, pandai sekali menyelewengkan nama gojeg menjadi gobeb. Lain halnya dengan ketiga temanku, mereka hanya mewanti-wanti agar aku tidak terlalu bermain hati lebih dalam. 'Semoga kalian kayak karbon ya, sulit memutuskan ikatan,' kata Hani iseng waktu itu.
"Jangan marah bila saya bersama Tiwi, Sya," katanya baru saja ketika kami sampai di depan parkiran sebuah toko buku besar. Tentu aku langsung menatapnya curiga. "Saya benci rumah." Satu kalimat membiusku yang awalnya kesal menjadi heran padanya.
Hubungan antara Tiwi dan rumah apa? Jangan bilang mereka sekarang satu rumah gara-gara Kak Baran kabur dari rumahnya!
"Di rumah, saya tidak pernah berinteraksi dengan keluarga saya. Hanya, 'Jangan pulang larut. Jangan ini, jangan itu, harus begini, harus bergitu.' Semuanya terasa menyebalkan setelah sadar bahwa keluarga orang lain tidak seformal seperti yang saya jalani."
"Bukannya keluarga Kakak adalah keluarga hangat? Aku masih ingat pujian betapa kakak dibesarkan dengan cara yang benar di media—"
"Kamu percaya media atau saya? Mungkin memang benar, cara yang mereka gunakan benar, tapi tidak baik. Oke, mungkin saya yang tidak baik. Kamu tahu 'kan terkadang malaikat saja seperti iblis bagi manusia yang tidak selamanya benar?
Saya tidak dapat berinteraksi dengan orang lain, Sya. Terasa memuakkan ketika untuk kuliah, jurusan, UKM, dan sejenisnya pula saya masih diatur dan dirancang sebagai manusia sempurna tanpa cela. Saya tidak dapat berbasa-basi. Program di kepala saya merancang bagaimana waktu harus saya gunakan untuk belajar, belajar, dan belajar. Tidak untuk menyapa tamu rumah, tidak untuk berinteraksi dengan saudara, tidak pula untuk menanyakan bagaimana kabar orang tua saya setelah penat bekerja atau pemikiran saya untuk menceritakan kisah satu hari yang saya lewati."
Gerakan tangan yang memilih membungkam mulut serta wajah tak percayaku membuatnya berhenti bercerita. Aku yang memang memiliki masalah dengan semua dongengnya itu langsung berucap, "Tunggu, itu semua terdengar kontradiktif dengan apa yang aku lihat."
"Di dunia ini yang sukses adalah para pembohong, Sya." Kali ini dia tidak ragu untuk memegang lenganku.