“Harusnya, jangan kaya gitu Sya, menurut Kakak, rumusnya akan lebih enak pakai yang ini.” Dia mencorat-coret kertas HVS yang sering dia bawa, menuliskan rumus dengan cepat kemudian mendapatkan jawaban dari soal yang sedari tadi aku cari.
Namai saja ini bimbingan privat karena kami melakukannya ketika Faiz dan Intan sudah pulang lebih dulu.
Aku menggeleng, mulai berputus asa dengan kemampuan fisikaku yang tetap saja payah. Buku itu telah aku tutup. “Mungkin seharusnya aku tidak ikut OSK ini.”
Kak Baran menatapku, tanpa ekspresi tangannya kembali menggenggam kedua tanganku. Kemudian sebuah perintah keluar dari mulutnya. “Bereskan semua ini!”
Aku menurut. Kemudian menatapnya putus asa.
“Kamu tidak apa hari ini pulang malam?”
“Hm ....” kuketuk dagu sembari berpikir, kapan terakhir kali aku pulang malam? Aku jarang melakukannya. Namun mungkin jika aku izin terlebih dahulu, ayah tidak masalah. “Akan kuhubungi Ayah.”
“Oke, silahkan hubungi dulu.”
***
Pada pukul tujuh malam ini aku dan Kak Baran baru saja makan malam di salah satu restoran kecil di pinggir jalan.
Apa yang tengah aku lakukan? Bukankah seharusnya sekarang aku menonton televisi bersama ayah atau mengerjakan PR yang besok harus dikumpulkan?
“Sepertinya taman kota hari ini tidak akan ramai.” Kak Baran melihat arlojinya.
Aku menarik napas dan menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Apa tujuanku menghiburnya dari duka yang selama ini dia rasa dan berusaha menerima perlakuan istimewa darinya itu benar? Apa dengan aku mengorbankan waktuku semua akan terbalas dengan adil?
“Apa ... kamu tidak apa-apa?”
Pertanyaan untuk apa? Aku sendiri bingung dengan maksud dari pertanyaan itu.
“Besok tugas kosong kok.”
Ya, kali ini aku berbohong untuk tahu apa yang akan dia lakukan agar semangatku menghadapi OSK itu kembali tumbuh. Setidaknya menghabiskan waktu sebentar untuk menghibur diri itu harusnya tidak apa-apa.
“Kakak tahu rasanya menjadi kamu yang begitu tertekan dengan tuntutan agar menjadi juara. Tapi Kakak minta kamu jangan kejar hal itu.”
Di kursi taman kota aku dan dia duduk sembari menyaksikan keramaian manusia yang bercengkrama. Ini tidak buruk.
“Apa besok Kakak tidak kuliah?”
“Saya kuliah siang.”
Kemudian hening lagi. Semua terasa meragukan. Kembingunganku harus bersikap seperti apa dan desir angin yang kian membuat tengkukku meremang, sedikit membuatku kedinginan.
Dia bukan lelaki yang akan membuka jaketnya untuk seseorang. Dia tipe realistis, tidak mungkin mengorbankan diri untuk orang lain.
Lalu kemudian pikirku menyeruak.
Apa harus selalu aku yang berkorban agar dia tidak kenapa-napa sementara aku mulai ragu apakah dia mau mengorbankan dirinya untukku sepenuhnya?
Tak lama tangannya mengambil tangan kiriku, menggosoknya dengan penuh kehangatan sembari menatapku dalam. Dalam fase ini dunia seakan berhenti berputar, manusia seakan berhenti bergerak. Dan aku, hanya bisa menatap kesayuan di matanya yang seakan bilang, “Ada Kakak untuk kamu, kamu jangan menghilang.”
Lalu, entah siapa yang memulai, dalam dinginnya angin dan saksi dedaunan yang berjatuhan, wajahnya bergerak mendekat seakan menghabiskan jarak yang membentang. Mendekat, mendekat, dan mendekat sehingga membuatku tersadar bahwa ternyata sesuatu milikku telah hilang.