***
TAKUT
Dulu ayah bilang pada gadis kecilnya;
Tidak ada yang perlu ditakutkan selain Tuhan
Tidak dengan senja yang membuat mentari tenggelam
Tidak dengan gelap yang menjadikan tak terlihat
Tidak dengan panas api yang membakar membuat tiada
Ataupun air yang menenggelamkan manusia
Ketika itu sang gadis tumbuh jadi pemberani
Tanpa kenal takut dia yakin mampu hadapi dunia sendiri
Menatap dunia seakan menantang dari sorotnya
Mendeklarasikan dia ‘kan selalu baik-baik saja
Detik berlalu, sang gadis tidak sekecil dulu
Keberanian berkobar menenggelamkan segan
Mendekap asa mendorongnya tuk menjadi pemenang
Hingga gadis itu ragu dengan yang ayah katakan;
Ada takut yang membuat hatinya kelam
Gadis itu mengalami takut yang memaut
Takut tak terdefinisi dan tanpa wujud
Takut tersayang menghilang yang berujung kehilangan
Takut ditinggalkan yang berujung sendirian
Masa pun membuatnya sadar
Ada takut yang tidak ayah perkenalkan
Takut jatuh cinta yang sama sekali tidak terkira
“Oh Ayah, Cinta bukan Tuhan, namun mengapa aku begitu memuja?”
***
Gemuruh tepuk tangan mengisis ruang kelas setelah jam istirahat shalat Jumat. Aku menunduk sebagai tanda mengakhiri penampilan. Beruntung aku bisa memaknai puisi itu dengan benar karena semua yang ada dalam baitnya kubuat sediri barusan. Bukan aku mengganti puisiku, aku memang baru membuatnya karena tidak sempat menyelesaikan tugas tadi malam.
“Sya, bukan aku doang yang sadar, tapi aku yakin kamu sudah menangis sebelum berpuisi di depan.”
“Ah, masa?” tanya sembari tertawa pelan. Miris. Apa semua orang tahu.