***
Sarah memang masuk ke barisan olimpiade provinsi. Tapi hal itu bukan alasanku tidak ikut jajan di kantin bersama Tania, Hani, dan Sarah. Bukan aku tidak bahagia dengan kemenangan Sarah, hanya saja akan sangat terlihat bila aku harus berpura-pura tersenyum di sana.
Dibanding dengan kemenangan Sarah, aku lebih kecewa pada diriku sendiri. Kecewa dengan semua kesalahan-kesalahan yang aku perbuat dan kelakuan bodohku ketika bersama Kak Baran. Maka dari itu, dibandingkan ikut dengan ketiga temanku, aku lebih baik berdiam diri di halte. Padahal, aku tidak menunggu bus yang datang.
Aku tidak membawa sepeda karena tadi pagi berangkat lebih awal. Rasanya sekarang aku menyesal tidak membawanya. Karena jika aku membawa sepeda, aku bisa saja bersepeda entah kemana untuk menghilangkan kecewa yang aku rasa. Namun sekarang ... tidak ada tempat yang bisa menjadi tujuanku berlari.
Toko buku terlalu ramai untuk kukunjungi, sekolah terlalu ramai untuk aku merenung, dan rumah terlalu menyedihkan untuk aku menangis. Aku takut bila aku berlama-lama di sekolah teman-teman bahkan guru akan iba lalu menyemangatiku dengan petuah dan kalimat hiburan tentang takdir. Namun, rumah juga bukan pilihan yang bagus ketika di sana ayah menunggu dengan harapannya yang tinggi. Meski aku tahu bunda pasti sudah mengetahui dan ada kemungkinan besar beliau memberi tahu ayah, atau mungkin ayah tahu dari informan lain, tetapi tetap saja aku tidak berani melihat kekecewaan di wajah keduanya.
Halte mungkin tempat yang tepat. Di sini ramai, tetapi siapa yang peduli pada gadis yang sedang merenung di pojok kursi halte? Semua orang pasti sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Terlalu sayang bila mereka harus membuang waktu untuk menanyakan kabar seorang gadis yang sedang menangis.
Aku tidak tahan dengan hal ini. Bukan kekalahan ini yang kutangisi. Hanya saja, ini perihal kebodohanku. Tapi, bila memang ini karena Kak Baran, aku ingin bertanya mengapa Sarah dapat menjalani bahkan memenangkan olimpiade padahal hubungannya dengan Bayu telah berjalan lama, bahkan mereka terkadang ribut berganti bermesraan setiap waktunya. Tapi mengapa Sarah tidak terganggu sama sekali? Jadi apa yang salah dengan diriku?
“Nak, kamu tidak apa-apa?” Beberapa orang bertanya dan menawarkan bantuan yang sama. Namun aku menolaknya halus dan berbicara bahwa aku baik-baik saja. Hal itu mungkin membuat beberapa lain yang iba terhadapku mengurungkan niat untuk menawarkan bantuan.
Melihat kesibukan orang yang berlalu lalang dan bagaimana mereka nampak tenang dengan takdir mereka, mataku perlahan memanas, mungkin air mata itu ingin mendobrak pertahanan kaca yang sedari tadi berusaha kutahan.
“Mengapa Tuhan tidak adil?” Kuusapkan telunjuku untuk menghapus air mata yang mengalir di wajah, namun rasanya sulit untuk membuatku tidak cengeng seperti dulu.
“Tahu apa kamu perihal adil?”
Bis dari halte ini baru saja berlalu membawa beberapa orang yang sejak tadi menunggu. Namun tiba-tiba cowok ini muncul di hadapanku.
“Tahu apa kamu perihal adil?” lagi, cowok itu mengulang pertanyaannya.
Tanpa meminta izin dariku, dia duduk dan menawarkan sapu tangan jingga yang mungkin selalu dia bawa. Aku masih diam. Tidak mengerti dengan tingkahnya yang semena-mena hadir kembali di hadapanku setelah mencaci maki sore itu. Apa dia lupa karena secara tidak langsung telah mengataiku murahan? Apa dia tidak tahu aku sempat menangisi dia yang tidak mau mendengarkan penjelasanku berjam-jam? Tentu, dia pasti lupa. Aku bukan orang yang penting di hidupnya.
"Aku tidak suka kamu menangis, tapi anehnya aku sempat membuatmu menangis kencang kemarin." Tangan cowok itu meremas sapu tangan di genggamannya.
“Kamu pikir orang lain lebih cantik, kamu nggak. Orang lain pintar, kamu nggak. Orang lain bisa menjalani beragam hal, kamu nggak. Bahkan kamu berpikir satu hal aja membuat kamu keteteran. Kenapa Tuhan nggak adil? Itu yang kamu pikirkan bukan?”
Nampaknya dia menamparku dengan fakta bahwa itu benar. Memang benar bukan? Sarah cantik, aku jerawatan. Sarah pintar, aku masuk provinsi saja nggak mampu. Sarah punya pacar, tapi hal itu tidak mengganggu kesuksesannya. Mungkin aku nampak iri pada Sarah. Tapi tidak hanya pada dia, semua orang juga nampaknya mendapatkan hal yang aku harapkan dengan mudah. Namun seringnya aku harus bersusah payah tapi tidak mendapatkan hal itu.
Termasuk cantik. Bunda mengabiskan uangnya hanya untuk membuat wajahku lebih baik. Namun ketika bekas jerawat lama belum menghilang, sudah muncul jerawat baru yang membuatku muak. Bahkan setelah berlama-lama, bekas itu menumpuk dan membuat wajahku tidak sedap untuk dipandang.